Demikian rangkuman yang bisa diambil dari
acara bedah buku “Ada Pemurtadan di IAIN” karya Hartono Ahmad Jaiz. Acara
berlangsung Ahad, 19 Juni 2005 (bertepatan dengan 12 Jumadil Awwal 1426
Hijriah), di Masjid Pesantren Al-Husnayain pimpinan KH Ahmad Kholil Ridwan,
alumni Gontor dan Jami’ah (Universitas) Islam Madinah. Pesantren Al-Husnayain
terletak di Jl Lapan, Pasar Rebo, Cibubur, Jakarta Timur. Bertindak sebagai
pembicara selain Hartono Ahmad Jaiz juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Bandung
Doktor Daud Rasyid, MA (alumni Kairo Mesir). Acara ini dipandu oleh Ustadz
Mustofa Aini alumni Universitas Islam Madinah. Jama’ah yang hadir memenuhi
masjid.
Doktor Daud Rasyid mengemukakan, di IAIN
betul-betul terjadi pem-Barat-an. Bukan saja orang-orang jebolan dari Barat
tapi juga asli dari Barat. Kata Daud yang bermarga Sitorus dari Batak ini.
Tahun 1996 dia masuk IAIN Jakarta (sebagai tenaga pengajar), karena di program
pascasarjana IAIN Jakarta belum ada guru hadits.
Ketika itu Daud Rasyid ditanya Harun
Nasution, “Nama saudara siapa?”
“Saya Daud Rasyid.”
“Ya, nama ini tidak asing di kepala saya,” jawab Harun Nasution.
Sampai 3 tahun berturut-turut Daud Rasyid
mengajar di IAIN Ciputat Jakarta, tetapi begitu Doktor Harun Nasution
meninggal, Daud Rasyid pun diusir dari IAIN Ciputat oleh rektor Azyumardi Azra.
“Ketika saya tanyakan, kenapa saya tidak
diberi jam kuliah di program pascasarjana IAIN, semua yang ada di sana diam
seribu bahasa. Artinya, keberadaan saya di sana tidak mereka senangi, karena
menurut mereka, membuat pusing. Karena tadinya murni orientasinya Barat, lalu
ada orientasi Timur Tengah, ini jadi membingungkan,” keluh calon doktor di IAIN
Ciputat Jakarta.
Pada setiap perkuliahan, Daud Rasyid
mematahkan celotehan-celotehan para calon doktor yang berfikirnya model
orientalis dan barat, dan mereka tak bisa menjawab. Lalu terjadi kebingungan,
yang mana yang harus diikuti, Barat atau Timur Tengah?
Terakhir, menjelang Pak Harun meninggal,
lanjut Daud, “Saya diminta jadi penguji tetap orang yang akan menjadi doktor.
Materi ujian komprehensip itu tiga: Al-Qur’an, Hadits, dan Pemikiran Islam.
Rupanya Pemikiran Islam ini mata kuliah wajib, untuk menanamkan Mu’tazilah
kepada mereka. Kurang lebih setahun saya menjadi penguji, siapapun yang akan
menjadi doktor harus berhadapan dengan saya, mata kuliahnya hadits. Nah di situ
mereka ada yang sport jantung, ada yang mengeluarkan keringat dingin.”
“Pak Harun Nasution ketika mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang Mu’tazilah (kepada mahasiswa calon doktor yang
sedang diuji) dia melirik saya,” kenang Daud.
“Demikianlah, tetapi begitu Harun Nasution
meninggal, saya sama sekali tidak diberi jam kuliah untuk mengajar. Katanya,
saya sudah ditugaskan ke IAIN Bandung. Sekarang di IAIN Bandung pun saya
menikmati keterusiaran saya.
Dalam memberikan kuliah hadits, saya katakan, di
sini kalau ada yang membawa-bawa faham-faham Syi’ah, Mu’tazilah dan lain-lain,
silahkan di luar pagar. Ini kuliah hadits. Tidak menerima Syi’ah, Mu’tazilah
dan lain-lain. Sampai di Universitas Ibnu Chaldun Bogor di pascasarjana, ada
alumni IAIN Ciputat Jakarta, ternyata dalam makalahnya dia menyusupkan faham
Syi’ah untuk membenci sahabat, asing, aneh, janggal dan bertentangan dengan
hadits dengan cara yang halus sekali, tapi racun.”
Pemikiran di IAIN Prototipe dari Orientalis
Barat
Jadi produk-produk IAIN sana, ungkap Daud
Rasyid, “pemikirannya terkena percampuran Liberal, Mu’tazilah, kalau tidak ya
Syi’ah, Shufiyah (Tasawuf). Ini semua merupakan prototype dari orientalis di
Barat. Orientalis di Barat itu sebagaimana kata Dr Ismail Faruqi, yang
dikabarkan mati terbunuh oleh agen-agen Zionis di Amerika, bahwa studi Islam di
Barat itu adalah kumpulan dari pemikiran-pemikiran sesat; apakah itu yang
namanya Syi’ah, Mu’tazilah, Shufiyah (Tasawuf), dan sejenisnya, di sana
bergabung.”
“Tahun lalu saya mengunjungi 7 pusat studi
Islam di Inggeris. Di antaranya di Brimingham, Manchester, Oxford dan
lain-lain. Saya lihat langsung, bagaimana Islamic Studies itu, betul apa yang
dinamakan oleh para pendahulu, bahwa Islamic Studies di Barat itu di bawah
naungan apa yang dinamakan grand design (rancangan besar).”
“Seorang Kristen Koptik kuliah di Amerika,
lalu ditugaskan dalam penelitiannya untuk mencari titik-titik kelemaham
Al-Qur’an. Setelah meneliti, ia justru masuk Islam, tetapi resikonya harus
menghadapi aneka tekanan yang harus diderita.”
Pada program Pascasarjana IAIN, lanjut Daud
Rasyid, ada dua yang jadi sumber virus pemikiran di Indonesia, yaitu IAIN
Jakarta dan IAIN Jogjakarta (kedua-duanya kini menjadi UIN –Uinversitas Islam
Negeri). Jarang sekali seseorang yang sudah masuk ke sana masih terpelihara
pemikirannya. Meski ada, tapi jarang sekali. Karena orang-orang yang masuk ke
sana (program pascasarjana IAIN), begitu studium general (kuliah umum), Prof
Harun Nasution berbicara:
“Saudara-saudara, pemikiran pemahaman anda
yang ada di S-1 (doktorandus atau sarjana agama) itu semuanya harus disingkap
hingga lepas. Semua pemahaman Islam yang anda dapatkan di S-1 itu semua harus
dilepas. Sekarang kita masuk ke mimbar bebas pemikiran.”
Itu doktrin studium general bagi siapa saja
yang baru memasuki program pasca sarjana IAIN. Setiap tahun pidato Harun
Nasution itu diulang-ulang terus. Jadi dia kemukakan adalah, kalau dulu masih
ada sisa cinta kepada Al-Qur’an, keberpihakan kepada Hadist, itu harus dibuang.
Karena, di sini (program pasca sarjana IAIN) mengkaji Islam secara akademik, tidak
berpihak kepada keimanan atau keyakinan. Artinya, tinggalkan semua akidah dan
keimanan, begitu anda masuk kemari, begitulah kira-kira tafsirannya. “Jadi ini
kalau terus dibiarkan, sangat berbahaya.” Tegas Daud Rasyid.
Apa Solusinya?
Ketika ditanya soal solusi, Daud Rasyid
mengatakan, “Menteri Agama yang baru ini kan orang dari Gontor, yang masih
koleganya Ust Kholil Ridwan (Pemimpin Pesantren Husnayain di Cibubur Jakarta
Timur, penyelenggara bedah buku Ada Pemurtadan di IAIN). Perlu ada usul kepada
Menteri Agama, masalah kurikulum IAIN, mesti ditinjau ulang,” saran Daud.
“Kedua, soal pascasarjana. Pascasarjana ini
penting, karena merupakan think tank-nya umat Islam. Maka perlu diusulkan
kepada Menteri Agama, orang yang menjadi direktur pasca sarjana itu hendaknya
lulusan Timur Tengah yang pikirannya benar-benar lurus. Sekarang ini direktur
pascasarjana UIN Jakarta itu Qomaruddin Hidayat, Rektornya Azyumardi Azra, ya
kloplah,” jelas Daud.
“Menteri Agama sekarang ini keluaran Timur
Tengah, mantan Dubes di Arab Saudi, artinya bau-bau Ka’bah itu masih melekatlah
sama dia. Jadi keberpihakannya itu masih diharapkan kepada pemikiran Islam yang
shahih,” tandas Daud dengan nada harap.
Kasus Nasr Hamid Abu Zayd
Daud Rasyid juga menggugat didatangkannya Dr
Nasr Hamid Abu Zayd, tokoh pengusung hermeneutika (metode tafsir bible) ke UIN
Jakarta, padahal telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996.
“Dr Nasr Hamid Abu Zayd buru-buru kabur dari
Mesir,” kata Dr Daud Rasyid, “karena Faraq Fauda yang belum divonis murtad oleh
pengadilan saja sudah jadi bangkai dibunuh orang. Lha Nasr Hamid Abu Zayd yang
sudah divonis Murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996 maka tinggal menunggu hari.
Dengan demikian dia buru-buru kabur dari Mesir, lari ke Belanda. Lalu dia
diangkat jadi guru besar di Leiden Belanda.”
“Sebelumnya, tim yang meneliti karya-karya
Nasr Hamid Abu Zayd dipimpin oleh Prof Abdus Shobur Shahin telah menemukan
bukti-bukti kemurtadan, di antaranya Al-Qur’an diaggap sebagai muntaj tsaqofi,
produk budaya. Tim ini tidak meloloskan Nasr Hamid untuk meraih gelar
professor, karena hasil karya tulisnya justru menghina dan menyalahi Islam.
Tidak lolosnya karya ilmiyah sebenarnya hal biasa, namun oleh kelompok sekuler,
hal itu dibesar-besarkan, hingga menjadi berita dunia, sampai hebohnya bergaung
hingga di Eropa,” kata Daud Rasyid. “Lalu Nasr Hamid akhirnya dijadikan guru
besar di Leiden Belanda.”
Pemurtadan secara sistematis
Sementara itu Hartono Ahmad Jaiz penulis buku
“Ada Pemurtadan di IAIN” mengemukakan, pemurtadan di IAIN sudah merata bahkan
seluruh perguruan tinggi Islam, sampai yang swasta bahkan Fakultas Agama Islam
di perguruan tinggi umum sudah terkena pula, yaitu terkena virus pemurtadan.
Karena kurikulumnya, sistem pengajaran, dan dosen-dosennya mengusung pemikiran
yang merusak.
Menurut Hartono, yang dirusak yaitu:
1. Aqidah Islam, dari tauhid, mengesakan Allah, digeser ke
kepercayaan pluralisme agama (menyamakan semua agama). Ini sangat
menyelewengkan Islam, baik secara keyakinan maupun keilmuan. Jadi dari
penegakan Tauhid justru dialihkan ke pemasaran kemusyrikan, penyaman semua
agama.
2. Pemahaman Islam dirusak secara sistematis.
Tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan metode yang benar, tetapi
merujuk metode Barat yang diprogram untuk mencela Islam dan merusak pemahaman
Islam.
3. Penggeseran pembelajaran Islam, dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta aqidah Islamiyah (Tauhid) ke Sejarah Pemikiran
Islam (SPI) dan Sejarah Peradaban/ Kebudayaan Islam (SKI). Bahkan SPI dan SKI
itu dijadikan matakuliah dasar umum (MKDU) untuk semua fakultas dan jurusan di
seluruh perguruan tinggi Islam, bahkan sampai ke Fakultas Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum. Dari situlah (dari dua mata kuliah dasar umum) yang
diwajibkan kepada seluruh mahasiswa dan waktu semesternya bersambung-sambung
itulah perusakan pemikiran dan pemahaman Islam dilancarkan secara sistematis
oleh dosen-dosen yang sudah dirancang untuk mengusung faham model kafir Barat
yang pada intinya adalah anti agama, dengan menghancurkan agama pakai faham
pluralisme agama, menyamakan semua agama. Di antara alat untuk menghancurkan
agama yaitu apa yang mereka sebut metode hermeneutic yaitu metode tafsir bible,
yang telah mampu merusak agama Yahudi dan Kristen. Kini metode hermeneutika itu
telah diajarkan di IAIN (UIN) Jakarta dan Jogjakarta.
4. Penggeseran pembelajaran Islam dari
ahlinya, yaitu para ulama dan perguruan Islam di Timur Tengah dialihkan ke
belajar Islam kepada orang kafir Yahudi, Nasrani ataupun kepada orang-orang
yang mengaku Islam tetapi sekular dan berfaham aneh-aneh alias nyeleneh di
perguruan-perguruan tinggi di Barat. Padahal para pendiri studi Islam di Barat
sudah dikenal kebanyakan adalah para orientalis yang tujuannya: penjajahan,
kristenisasi, dan pembaratan (kolonialisasi, kristenisasi dan westernisasi).
5. Pembelajaran Islam yang sebenarnya untuk
membentuk generasi Islam yang faham Islam, dialihkan menjadi sarang-sarang dan
pabrik pembaratan, perusakan Islam secara sitematis, menggantikan pabrik-pabrik
perusakan Islam di Barat. Jadi perusakan Islam di Indonesia sudah ada
pabriknya-pabriknya, yaitu IAIN-IAIN atau perguruan tinggi Islam se Indonesia
untuk meliberalkan dan mempluralismekan agama umat Islam alias memusyrikkan.
Sedang para pengasongnya atau pengetengnya adalah JIL (Jaringan Islam Liberal)
pimpinan Ulil Abshar Abdalla dan 44 lembaga lainnya yang mengusung faham
liberal dan pluralisme agama yang merusak Islam. Dana untuk perusakan Islam itu
didapat dari lembaga-lembaga swasta kafir dan negara. Di antaranya satu lembaga
kafir swasta saja membiayai 44 lembaga, dan untuk satu lembaga seperti JIL saja
mendapatkan Rp1,4 miliar per tahun dari The Asia Foundation, lembaga kafir
swasta yang berpusat di Amerika.
Ulil Abshar Abdalla mengaku kepada Majalah
Hidayatullah Desember 2004 bahwa dana Rp1,4 miliar yang dia terima per tahun
dari The Asia Foundation itu kecil dibanding yang diterima oleh lembaga-lembaga
lainnya (dari 44 lembaga di antaranya lembaga-lembaga di lingkungan NU,
Muhammadiyah, IAIN, UIN, perguruan tinggi Islam swasta dan lain-lain).
Satu
lembaga swasta kafir saja sudah bisa membiayai 44 lembaga berfaham liberal yang
memecundangi Islam. Padahal di Indonesia ini ada 48 lembaga swasta
internasional. Dari 48 lembaga swasta internasional itu yang merupakan lembaga
kafir sebanyak 47, sedang yang Islam hanya satu, namun yang satu itu pun yaitu
Al-Haramain Foundation sudah dibredel oleh Amerika. Jadi yang 47 lembaga swasta
kafir dibiarkan hidup. Bayangkan, satu lembaga kafir saja mampu membiayai 44
lembaga perusak Islam. Sedangkan satu-satunya lembaga Islam dibredel paksa.
Inilah Indonesia di bawah penjajahan Amerika.
6. Di dunia ini ada kekuatan yang
menghancurkan Islam dengan dua cara. Pertama dengan cara membunuhi secara
fisik, misalnya yang terjadi di Irak, Afghanistan, Palestina, Thailand dan
sebagainya. Kedua, pembunuhan keimanan seperti yang dilakukan di Indonesia
yaitu mencabuti keimanan, dari tauhid ke pluralisme agama alias kemusyrikan,
lewat pendidikan terutama di IAIN (UIN) dan lain-lain, di antaranya di 44
lembaga yang dibiayai swasta kafir. Semuanya itu dengan dana sangat besar. Dan
bahkan sudah merambah ke pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah untuk diubah
kurikulumnya dengan didanai Amerika sebesar 157 juta dolar (oleh lembaga resmi
milik negara, belum lagi yang swasta). Sedangkan untuk perusakan kurikulum
pendidikan Islam di dunia Islam maka didanai Amerika satu miliar dolar per
tahun. Jadi umat Islam ini dibunuhi fisiknya, dan dibunuhi keimanannya.
Pembunuhan keimanan ini lebih dahsyat dibanding pembunuhan fisik. Karena kalau hanya
pembunuhan fisik, maka ketika umat Islam dibunuh sedang iman di dadanya masih
utuh, insya Allah masuk surga. Tetapi pembunuhan keimanan dengan melalui
pendidikan yang pada dasarnya mencabuti keimanan, maka walaupun fisiknya masih
hidup namun imannya mati, lalu ketika fisiknya mati maka masuk neraka. Itulah
yang di dalam Al-Qur’an dinyatakan:
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan. (QS Al-Baqarah: 191).
Tekanan bahkan penggeseran keimanan itu lebih
dahsyat dibanding pembunuhan.
“Dengan kenyataan yang sangat membahayakan
bagi umat Islam ini maka tidak ada jalan lain kecuali membela agama Islam, dan
berupaya menyingkirkan segala gangguan yang sistematis dan dibiayai
besar-besaran itu. Apabila ini dibiarkan maka keadaan akan semakin rusak dan sangat
membahayakan.” Demikian tegas Hartono.
Di Berbagai IAIN
Buku “Ada Pemurtadan di IAIN” yang terbit
pertengahan Maret 2005 ini telah dibedah di berbagai IAIN dan tempat-tempat
umum di berbagai kota. Pertama kali dibedah di acara pameran Buku Islam (Islamic
Book Fair) di Senayan Jakarta, 27 Maret 2005 dengan pembedahnya penulis buku,
Hartono Ahmad Jaiz, dan pembandingnya Dr Roem Rowi alumni Al-Azhar Mesir, dosen
Tafsir di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kemudian di UIN Jakarta
pembedahnya dua dari pihak pro buku yaitu Hartono Ahmad Jaiz dan Muhammad
At-Tamimi melawan dua orang pro IAIN: Abdul Muqsoth Ghozali alumni IAIN Jakarta
dan sekaligus jadi dosen di sana, dan Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL. Debat
pun terjadi, dihadiri 1000-an orang. Laporan tentang debat di UIN Jakarta itu
bisa dilihat di dalam “Melawan ‘Setan JIL’ di Sarangnya”. Juga bisa dilihat
pada VCD berjudul “Debat Terbuka Buku Ada Pemurtadan di IAIN”
Di IAIN Serang Banten, buku ini dibedah
penulis bersama Dr Utang R, dosen/dekan Fak. Ushuluddin di sana dan anggota MUI
Pusat. Sedangkan seorang dosen yang konon berfaham liberal tidak hadir. Di IAIN
Serang Banten ini Dr Utang menjamin bahwa di sini tidak ada pemurtadan. Namun
jaminan itu dibantah oleh seorang mahasiswi, bahwa di sini ada dosen-dosen, di
antaranya kalau mengajar filsafat mengatakan, agar mata kuliah filsafat bisa
masuk ke pikiran mahasiwa maka hendaknya dilepaskan dulu keimanannya. Sementara
itu dalam mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, dosennya mempersilakan untuk mengecam-ngecam
para sahabat Nabi saw. Padahal, kata mahasiswi itu, apalah artinya kita bila
dibanding kebaikan para sahabat Nabi saw.
Ketidak hadiran pembicara dari IAIN yang
dikenal berfaham liberl sering terjadi. Di IAIN Lampung, panitia yang sudah
serius berupaya untuk menghadirkan dosen IAIN yang diketahui liberal, sampai
hari “h” upaya itu tidak terlaksana. Bahkan untuk jadi moderator pun ketika
wakil Rektor mengharapkan diambil dari kalangan dosen yang berpaham liberal,
tidak ada yang tampil. Maka pembahasan buku dilakukan tiga orang: Hartono Ahmad
Jaiz, Ust Madrus da’i dari RRI Lampung, dan seorang ustadz dari Dewan Dakwah.
Lain lagi di Universitas Brawijaya Malang.
Panitia khabarnya telah mendapatkan info kesanggupan Rektor UIN Malang, Prof Dr
Imam Suprayogo, tahu-tahu menjelang hari “h” beliau membatalkannya. Lalu
panitia mendapatkan ganti Dr Mujab alumni Aligarh India, ketua jurusan Bahasa
Arab Pascasarjana UIN Malang. Justru dosen yang bukan alumni IAIN ini
mengemukakan, betapa keroposnya sistem pendidikan di IAIN yang penyerahan mata
kuliah saja belum tentu kepada ahlinya, tetapi diberikan kepada dosen yang
tidak ahli hanya karena ia bertitel doktor. Padahal orang luar banyak yang
lebih ahli, hanya saja karena tak bergelar doktor maka tidak boleh mengajar.
Di IAIN Semarang, Hartono Ahmad Jaiz
berhadapan dengan Dr Abu Hafsin dosen IAIN di sana, alumni Bangkok dan Los
Angles Amerika. Alumni Bangkok itu disindir Hartono: “Dulu para ulama
berseminar fiqih tingkat internasional di Brunei Darussalam, lalu mereka mau
pulang, ada kapal terbang yang transit di Bangkok. Para ulama itu tidak mau
menggunakan pesawat yang transit di Bangkok, karena Bangkok daerah hitam
(pelacuran). Lha ini belajar Islam kok ke Bangkok? Juga Nabi saw wanti-wanti,
laa tas’aluu ahlal kitaab ‘an syai’. (Jangan kamu bertanya kepada ahli kitab/
Yahudi dan Nasrani tentang sesuatu (lihat Kitab Shahih Al-Bukhori dan
Syarahnya, Fathul Bari) tetapi ini kok belajar Islam ke Barat ke orang kafir.
Ini mengikuti Nabi saw atau ikut orientalis?”
Pembicaraan di IAIN Semarang (8 Juni 2005)
itu cukup seru, sedang Dr Abu Hafsin asal Kuningan Jabar dan alumni Pesantren
Buntet Cirebon ini mendapat sorotan dari dua pembicara lagi yaitu Ridwan Saidi
dari Jakarta dan seorang alumni IKIP Jogjakarta yang menulis buku membongkar
pemikiran JIL (Jaringan Islam Liberal).
Di IAIN Bandung, Hartono dan Daud Rasyid
bersamaan pula dalam mengungkap nyelewengnya pemikiran liberal yang disusupkan
secara sistematis di IAIN. Anehnya, di kampus yang pernah ada kasus ajakan dzikir
dengan lafal Anjing hu Akbar dan spanduk berbunyi selamat datang di areal bebas
Tuhan ini ketika Hartono dan Daud Rasyid berbicara sampai mempersoalkan dekan
Fakultas Ushuluddin, Abdul Razak, yang membela ungkapan-ungkapan menghina Islam
tersebut lewat TV7, ternyata tidak ada seorang pun –baik mahasiswa maupun dosen
yang hadir– yang berkutik untuk menyanggah dua orang dari Jakarta ini.
Di Islamic Center Tanjung Priok Jakarta, buku
“Ada Pemurtadan di IAIN” dibedah oleh penulis dan Dr Ahmad Satori alumni
Al-Azhar Mesir yang juga dosen UIN Jakarta. Dalam acara yang diprakarsai pemuda
Al-Irsyad itu, Dr Ahmad Satori mengatakan, pemikiran aneh dari Hasan Hanafi
(kiri Islam –al-yasar al-Islamy) dan Nasr Hamid Abu Zayd (Al-Qur’an itu produk
budaya –muntaj tsqofi) itu di Mesir sendiri tidak laku. Karena orang Mesir tahu
Islam. Tetapi di sini di IAIN di Indonesia justru laku, karena tidak tahu
Islam.
Ungkapan Dr Satori itu apakah menyindir
sesama rekannya yang jadi dosen di IAIN atau bagaimana, wallahu a’lam. Tetapi
ketika di IAIN Bandung, Hartono mengatakan, bagaimana di IAIN ini mau memahami
Islam dengan baik, orang dosennya yang membela dzikir dengan lafal Anjing hu
Akbar itu sendiri menurut mahasiswanya, kalau jadi imam sholat, bacaannya tidak
fasih. Demikian pula ketika di Semarang: Bagaimana mereka itu dikirim belajar
Islam ke Barat? Sedang yang mengaku telah belajar Islam ke ulama di pesantren
11 tahun seperti Pak Abu Hafsin ini saja pemahamannya tentang Islam seperti
itu? (Yaitu hanya menirukan Munawir Sjadzali –mendiang, menteri agama
1983-1993, yang menuduh Umar bin Khothob ra sebagai orang yang sangat liberal
dan menyelisihi nash/teks Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya).
Demikianlah bahaya yang sedang dilandakan
kepada umat secara sistematis dan dibiayai besar-besaran oleh pihak-pihak
kafirin untuk merusak dan menghancurkan Islam dan umatnya. Kaki tangan kaum
kuffar itu mengaku sebagai Muslim, bahkan seperti Dr Abu Hafsin dosen di
Semarang berani mengemukakan bahwa Nasr Hamid Abu Zayd pun hatinya ikhlas untuk
mengembangkan Islam. Itulah cara berfikir dan berbicara orang liberal di IAIN.
Kok tahu-tahunya isi hati orang, hingga orang yang telah divonis murtad oleh
Mahkamah Agung Mesir dan para ulama, masih bisa diklaim keikhlasan hatinya
untuk Islam. Sedang Ibnu Hajar Wakil Rektor I di IAIN Semarang mengemukakan,
hadis sesoheh apapun tetap relatif. Karena Imam Bukhori pun tidak bisa
membuktikan bahwa yang diriwayatkan itu benar-benar yang diucapkan Nabi saw.
Anehnya, kata Hartono Ahmad Jaiz, orang model
ini, kalau ada kutipan bahwa Socrates bilang begini begitu, Plato bilang begini
begitu, malah ucapannya ditelan saja. Padahal, apakah Socrates, Plato itu ada?
Padahal kalau kita tidak percaya adanya Socrates dan Plato, apalagi
perkataannya, kita tidak dosa. Namun mereka justru langsung percaya. Ini aneh.
Socrates dan Plato dipercaya, padahal tidak jelas siapa sanadnya, siapa
rowinya? Tidak jelas. Sedangkan hadits, sangat jelas sanad dan rowinya. Kalau
memang shohih, itu sanad dan rowinya sangat jelas, bisa dipertanggung jawabkan
secara keilmuan. Tetapi dasar cara berfikir di IAIN telah ngawur, maka dosen-dosennya banyak yang berfikir terbalik. Filsafat yang tidak
ada landasannya, tidak ada sanad dan rowinya justru diusung dan dipuja.
Sebaliknya, Al-Qur’an diragukan, hadits sesohih apapun direlatifkan. “Inilah
sebenar-benarnya pemurtadan!” Tandas Hartono Ahmad Jaiz.