Sultan Salahuddin Al Ayyub
1.
SHALAHUDDIN AL-AYYUBI DAN MAULID NABI
SECARA bahasa maulid Nabi
bermakna waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi
wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan yang
berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awwal.
Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Muslim
di dunia sekarang ini. Bahkan tanggal 12 Rabiul Awwal merupakan hari libur di
banyak negeri Muslim. Kapankan sebenarnya perayaan maulid pertama kali muncul
dalam sejarah Islam?
Pada masa-masa
sebelum ini kita sering mendengar bahwa peringatan maulid muncul pertama kali
pada zaman Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193). Shalahuddin dikatakan
mengadakan kompetisi atau anjuran untuk melaksanakan perayaan maulid demi
membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin pada masa itu dalam menghadapi
tentara salib. Namun sejauh yang penulis ketahui, kisah ini sama sekali tidak
memiliki rujukan.
Tidak
ada satu pun penulis sejarah Shalahuddin dan Perang Salib yang hidup sejaman
dengannya yang menyebutkan tentang hal ini. Jika Shalahuddin memang menjadikan
maulid sebagai bagian dari perjuangannya, tentu buku-buku sejarah pada Secara bahasa maulid Nabi bermakna
waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi
wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan
yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul
Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan masa itu akan
menyebutkan tentang hal itu walaupun sedikit.
Syair
Salib
Selain
pendapat di atas, ada juga sebagian kaum Muslimin yang menentang maulid, begitu
pula beberapa sejarawan Barat, yang mengatakan bahwa perayaan ini bersumber
dari Dinasti Fatimiyah (909-1171) yang berpaham Syiah Ismailiyah.
Dinasti
inilah yang pertama kali mengadakan perayaan maulid Nabi, serta maulid Ali dan
beberapa maulid keluarga Nabi lainnya. Bahkan ada artikel yang begitu
bersemangat mengkritik maulid menyebutkan bahwa maulid “berasal dari kaum
bathiniyyah (maksudnya Dinasti Fatimiyah, pen.) yang memiliki dasar-dasar
akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib.”
Terlepas
dari perbedaan dan permusuhannya dengan Ahlu Sunnah, Dinasti Fatimiyah pada
masa itu juga berperang menghadapi kaum salib. Jadi, menyebut dinasti Fatimiyah
atau perayaan maulid sebagai “menghidupkan syiar-syiar kaum Salib” merupakan
tuduhan yang terlalu jauh dan mengada-ada.
Beberapa
buku sejarah memang menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah mengadakan perayaan
maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemerintahan Fatimiyah berdiri
pada tahun 909 M di Tunisia, memindahkan pusat kekuasaannya ke Kairo, Mesir,
enam dekade kemudian, dan runtuh pada tahun 1171, dua tahun setelah masuknya
Shalahuddin ke Mesir. Adanya perayaan maulid oleh Dinasti Fatimiyah disebutkan
antara lain oleh dua orang sejarawan dan ilmuwan pada masa Dinasti Mamluk,
beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin dan terjadinya Perang Salib. Kedua
sejarawan yang sama-sama memiliki nama Ahmad bin Ali itu dalah al-Qalqashandi
(w. 1418) dan al-Makrizi (w. 1442). Menurut Nico Kaptein dalam disertasinya
yang dibukukan, Muhammad’s Birthday Festival (1193: 7-19), kedua sejarawan ini
merujuk pada tulisan para sejarawan sebelumnya yang mengalami jaman Fatimiyah, terutama Ibn Ma’mun (w.
1192) dan Ibn al-Tuwayr (w. 1220).
Al-Qalqashandi
menyebutkan tentang perayaan maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas
dalam kitab Subh al-A’sya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada
tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri oleh
para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Da’i al-Du’at, dan para
pembesar kota Kairo dan Mesir. Hidangan disediakan untuk yang hadir dan jalur
ke istana ditutup dari orang-orang yang lewat di dekat tempat itu. Setelah
semua berkumpul, orang kepercayaan khalifah memberi tanda dan acara pun dimulai
dengan khutbah dari penceramah – dalam sumber lain disebutkan bahwa acara
dibuka dengan pembacaan al-Qur’an dan diikuti dengan khutbah oleh tiga
penceramah berturut-turut (Kaptein, 1993: 13-5). Setelah khutbah selesai, acara
diakhiri dan orang-orang pun kembali ke rumah masing-masing. Hal yang
sama juga berlaku pada perayaan maulid Ali bin Abi Thalib ra, maulid Fatimah,
maulid Hasan dan Hussain ra, dan maulid khalifah sendiri.
Sebagaimana
disebutkan dalam Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 895) dan juga buku
Kaptein (1993: 9-10), al-Maqrizi (saya tidak merujuk langsung dari kitab
beliau) juga menjelaskan hal yang kurang lebih sama. Salah satu perayaan maulid
itu diadakan pada tahun 517 H (1123 M). Sebelum itu tentunya sudah ada perayaan
maulid juga, tetapi buku-buku sejarah tidak menyebutkan sejak tahun berapa
perayaan ini mulai dilakukan.
Kaptein
(1993: 28-9) berpendapat perayaan maulid yang berlaku di dunia Sunni merupakan
kelanjutan dari perayaan maulid Fatimiyah ini. Ia juga percaya bahwa saat
terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah kepada Shalahuddin,
perayaan maulid Nabi tetap berlangsung di tengah masyarakat Mesir. Hanya maulid
selain maulid Nabi yang dihapuskan oleh pemerintahan Shalahuddin, sementara
maulid Nabi tetap diizinkan berjalan. Namun pendapat Kaptein ini lebih bersifat
dugaan dan penafsiran atas teks yang tidak sepenuhnya bisa dijadikan pegangan.
Ada
beberapa alasan untuk memilih pendapat yang sebaliknya.
Pertama, sebagaimana digambarkan
dalam sumber-sumber yang ada, maulid Fatimiyah ini merupakan maulid yang
bersifat elit. Ia dilaksanakan oleh istana dan dihadiri oleh pembesar
kerajaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa
perayaan ini bersifat populer dan dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat
Mesir ketika itu, baik Sunni maupun Syiah. Perayaan maulid Fatimiyah ini sempat
dihentikan oleh wazir Fatimiyah yang bernama al-Afdal yang memerintah pada
tahun 1094-1122. Belakangan khalifah mengupayakannya lagi atas usulan beberapa
pembesar di sekitarnya (Kaptein, 1993: 24-5). Kisah tentang konflik ini hanya
berkisar di sekitar istana. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi di
masyarakat Mesir terkait pelarangan tersebut.
Kedua, sejauh ini kita juga
tidak menemukan sumber-sumber sejarah yang ada menceritakan tradisi perayaan
maulid di tengah masyarakat Syiah Ismailiyah pada masa itu. Masyarakat Syiah
ketika itu bukan hanya tinggal di Mesir, tetapi juga di Suriah, Irak, dan Yaman
(lihat misalnya The Chronicle of Ibn al-Athir/ Tarikh Ibn al-Athir).
Ketiga, dalam perjalanan hajinya
ke Makkah melalui Mesir pada tahun 1183, Ibn Jubair (2001: 31-68) sama sekali
tidak menyebutkan adanya kebiasaan maulid di Mesir.
Saat
itu sudah dua belas tahun sejak runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah
diperintah oleh Shalahuddin. Pada bulan Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (w.
1217) masih belum menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid
di Mesir merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa
Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil
kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk kemudian ia
tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla).
Sementara, Ibn Jubair jelas-jelas menyebutkan adanya peringatan maulid di
Makkah sebagaimana akan disebutkan nanti.
Oleh :
Alwi Alatas
*
Penulis adalah kandidat doktor bidang sejarah di IIUM Malaysia