SAAT INI jumlah populasi muslimin
dunia tercatat mencapai satu setengah miliar jiwa atau sekitar 23 persen dari
seluruh penduduk bumi. Umat Islam tersebar di lebih dari 120 negara, sementara
di 35 negara, warga Muslim tercatat sebagai mayoritas sementara di sekitar 29
negara, umat Islam adalah warga minoritas yang berpengaruh. Di 28 negara, Islam
ditetapkan sebagai agama resmi seperti di Mesir, Kuwait, Irak, Maroko, Pakistan
dan Arab Saudi.
Dari seluruh negara di dunia,
Indonesia menempati urutan teratas jumlah populasi Muslim terbanyak dengan
lebih dari 200 juta jiwa, menyusul setelahnya Pakistan dengan lebih dari 170
juta jiwa dan India dengan 160 juta jiwa. Tempat keempat hingga keenam diduduki
oleh Bangladesh, Mesir dan Nigeria. Sementara Iran, Turki, Aljazair dan Maroko
berada di urutan berikut.
Berdasarkan data yang dihimpun tahun
1980, populasi umat Islam tercatat sebanyak 800 juta jiwa. Jumlah itu
membengkak menjadi 1,3 miliar jiwa pada tahun 2004. Sejak tahun 1995, India
tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan warga Muslim paling pesat di dunia
disusul kemudian oleh Pakistan, Indonesia, Nigeria dan Bangladesh. Perkembangan
dan meningkatnya jumlah populasi Muslim di dunia khususnya di Eropa menjadi
fenomena yang menarik perhatian para sosiolog. Fenomena ini ditanggapi oleh
para pemimpin negara-negara Barat dengan sinis dan dianggap sebagai bahaya yang
mengancam kepentingan mereka.
Peningkatan populasi umat Islam
tidak bisa lepas dari kian membaiknya indeks kesehatan di negara-negara Islam
yang disertai dengan menurunnya angka kematian bayi. Banyak pakar yang meyakini
bahwa negara-negara Barat menutup mata dari membaiknya kondisi kesehatan dan
kemajuan kedokteran di negara-negara Muslim sehingga mengaitkan pertumbuhan
pesat populasi Muslim dunia dengan peningkatan angka kelahiran semata. Padahal,
keberhasilan negara-negara Islam dalam menekan angka kematian bayi merupakan
faktor yang sangat signifikan.
Dewasa ini ada dua pandangan dan
analisa tentang demografi umat Islam di dunia yang menunjukkan bahwa masalah
kependudukan, khususnya menyangkut umat Islam dipengaruhi oleh kondisi politik.
Pandangan pertama melihat dari ketaatan dalam melaksanakan ibadah dan kewajiban
beragama. Untuk itu, mereka yang digolongkan ke dalam komunitas Muslim hanya
mereka yang melaksanakan shalat dan aktif dalam kegiatan agama.
Sementara pandangan kedua dengan
cakupan yang lebih luas adalah memasukkan kecenderungan budaya dan keagamaan,
sehingga menyebut semua orang yang menerima Islam sebagai bagian dari komunitas
Muslim. Tentunya jika parameter pertama yang menjadi ukuran, mayoritas umat
Yahudi dan Kristen akan dikeluarkan dari kelompok agama mereka, karena sebagian
besar tidak mengikuti ritual keagamaan yang mereka anut.
Pertumbuhan populasi umat Islam di
dunia dianggap sebagai ancaman oleh sejumlah rezim Barat dengan mengesankannya
sebagai revolusi populasi kependudukan dunia oleh umat Islam. Hal itu sengaja
dilakukan sebagai upaya dari Islamphobia yang memang sedang digalakkan oleh
Barat. Padahal dalam 30 tahun terakhir, keluarga Muslim cenderung mengurangi
jumlah anak yang tentunya berakibat pada menurunnya jumlah populasi umat.
Tahun 1975 tercatat rata-rata
keluarga Muslim memiliki 6,5 anak. Angka ini menurun menjadi 4 anak pada tahun
2004, bahkan di sejumlah negara Muslim penurunan terjadi lebih drastik menjadi
2,6 anak dalam setiap keluarga. Kondisi yang lebih parah terjadi di masyarakat
Muslim di Indonesia, Aljazair dan negara-negara Asia tengah termasuk Rusia.
Sementara kondisi di Turki dan Azerbaijan sama dengan kebanyakan masyarakat
Eropa. Memang di sejumlah kawasan, mengingat peningkatan jumlah warga Muslim di
wilayah yang berdekatan dengan kawasan non Muslim terjadi peningkatan yang
signifikan akibat pertumbuhan internal atau imigrasi umat Islam dalam skala
besar.
Timur Tengah, Eropa, Rusia dan India
adalah kawasan di mana demografi kependudukan sangat menentukan pergeseran
kondisi sosial, politik dan budaya. Sebelum memasuki penjelasan masalah ini
perlu dicermati unsur geopolitik dan hubungannya dengan benturan dan gesekan
antar umat beragama di kawasan tersebut. Dengan demikian, besarnya jumlah
populasi akan menentukan keunggulan satu kelompok.
Misalnya, di Palestina, pertumbuhan
populasi warga Arab dibanding warga Yahudi sangat menentukan perimbangan
kekuatan warga Palestina. Tahun 2004, di wilayah yang oleh Barat disebut
Israel, jumlah populasi warga Arab mencapai satu juta 70 ribu jiwa atau sekitar
16 persen dari total warga Israel. Dari jumlah itu 450 ribu berusia di bawah 15
tahun. Pertumbuhan warga Arab dilihat dari angka kelahiran anak mencapai 3,4
persen sementara angka ini di kalangan warga Yahudi tidak lebih dari 1,4
persen.
Masih tentang Palestina. Di wilayah
otonomi jumlah populasi warga mencapai 3,5 juta jiwa. Di Gaza warga Palestina
tercatat sebanyak 1,25 juta jiwa dengan pertumbuhan 4 persen. Tercatat,
pertumbuhan populasi warga Palestina tiga kali lipat lebih besar dari
pertumbuhan warga Yahudi. Di sela-sela masalah pengungsi Palestina yang belum
juga tuntas, populasi warga Palestina lebih besar dua kali lipat dibanding
warga Yahudi.
Israel, yang mengklaim diri sebagai
negara Yahudi di tengah lautan umat Islam hanya memiliki populasi 7,5 juta
jiwa. Sementara, negara-negara yang bertetangga dengan Palestina pendudukan
yaitu Negara-negara Arab-Islam yang terdiri dari Lebanon, Suriah, Jordania dan
Mesir memiliki populasi penduduk lebih dari 100 juta jiwa. Israel semakin
terjepit dengan menurunnya angka imigrasi warga Yahudi ke Palestina.
Yang lebih menarik adalah
berkurangnya populasi warga Kristen di sejumlah negara Timur Tengah seperti
Mesir, Suriah, Lebanon dan Palestina. Tahun 1914, warga Kristen mencapai 26
persen populasi negara-negara ini. Namun data tahun 1995 angka itu menurun
drastis menjadi 9,2 persen.
Kondisi yang terjadi di Rusia juga
menarik perhatian para pemerhati. Pendataan yang dilakukan tahun 1989
menunjukkan bahwa populasi warga Muslim Rusia tercatat sebanyak 12 juta jiwa
atau delapan persen dari total kependudukan negara itu. Sementara pada tahun
2002 dicatat peningkatan populasi warga Muslim menjadi lebih dari 14 juta jiwa.
Sejumlah sumber tak resmi bahkan menyebutkan angka yang mencapai 20 juta jiwa.
Tahun 2005, Ketua Dewan Mufti Rusia Ainuddin mengatakan bahwa jumlah warga
Muslim di Rusia mencapai 23 juta jiwa. Diperkirakan bahwa salah satu faktornya
adalah imigrasi warga Muslim dari negara-negara Muslim bekas Uni Soviet ke
Rusia. Dengan demikian, Islam menempatkan diri sebagai agama mayoritas kedua di
Rusia.
Data tahun 1991 menyebutkan adanya
300 masjid di Rusia. Jumlah ini meningkat menjadi delapan ribu masjid pada saat
ini. Ketika Uni Soviet runtuh dan Republik Federasi Rusia terbentuk, tidak ada
satupun pusat pendidikan agama Islam di sana. Namun kini minimal ada 50 sampai
60 sekolah Islam yang memberikan pendidikan agama kepada lebih dari lima ribu
pelajar Muslim. Tahun 1991, hanya 40 warga Muslim Rusia yang menunaikan ibadah
haji. Akan tetapi angka itu meningkat menjadi 13500 orang pada tahun 2005.
Data tak resmi menyebutkan bahwa di
ibukota Moskow terdapat 1,5 juta warga Muslim dengan enam masjid. Dengan
demikian, Moskow menjadi ibukota Eropa dengan populasi jumlah warga Muslim
terbesar. Sebagian kalangan bahkan memprediksikan bahwa kedepannya Rusia bakal
menjadi negara dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam.
Imigrasi orang Islam ke Amerika
terjadi secara bertahap. Pada abad 19, kelompok-kelompok Muslim didatangkan ke
Amerika untuk menggarap pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh
orang-orang keturunan Eropa. Setelah berakhinya perang saudara di Negara itu dan
sebelum pecahnya Perang Dunia I, pemerintah Amerika mendatangkan orang-orang
Arab dari Suriah, Lebanon, Jordania dan Palestina untuk bekerja di sana. Mereka
umumnya beragama Kristen namun ada pula kelompok Muslim di antara mereka,
meliputi Muslim Sunni, Syiah, Alawi dan Druz.
Setelah berakhirnya Perang Dunia I
yang disusul dengan runtuhnya imperium Utsmani terjadi gelombang kedua imigrasi
orang Islam ke Amerika. Mereka umumnya berasal dari negara-negara yang dulunya
berada di bawah kendali pemerintahan Utsmani. Pemetaan kependudukan berdasarkan
etnik dalam undang-undang keimigrasian Amerika yang di awal abad 20 lebih
banyak diperuntukkan bagi warga Eropa, jumlah imigran Muslim di Amerika masih
sangat terbatas.
Gelombang ketiga imigrasi dimulai
pada tahun 1930. Saat itu, berdasarkan undang-undang keimigrasian Amerika warga
Muslim berhak untuk mengundang sanak keluarganya berhijrah ke Amerika.
Gelombang keempat imigrasi terjadi pasca Perang Dunia II dan berlanjut sampai
dekade 1960. Kebanyakan mereka yang berhijrah ke Amerika pada periode ini
adalah pedagang, mahasiswa, dan teknisi di berbagai bidang. Mereka memilih
berhijrah ke AS karena faktor ekonomi, budaya, pendidikan, dan sosial. Dengan
adanya perubahan mendasar pada undang-undang keimigrasian di Amerika pada tahun
1965, pemerintah setempat menghapuskan pemetaan imigrasi berdasarkan etnis dan
kebangsaan untuk digantikan dengan keahlian dan unsur ekonomi. Undang-undang
ini kembali membuka peluang bagi sebagian warga Muslim untuk berpindah ke
Amerika.
Gelombang kelima imigrasi
berbarengan dengan terjadinya transformasi di tingkat global, kemelut di
sejumlah negara Islam dan keterbatasan yang didapat di benua Amerika. Imigrasi
gelombang, umumnya terjadi dengan tujuan wilayah Amerika utara dan Amerika Serikat.
Imigran Muslim terbanyak pada periode ini berasal dari Pakistan, Bangladesh,
Afghanistan, Iran, Indonesia, Malaysia, India, negara Arab, Palestina, Turki
dan Afrika utara. Imigran Muslim ke Amerika semakin meningkat karena
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya perang Arab-Israel yang terjadi pada
tahun 1967 dan 1973, perang saudara di Lebanon pada dekade 1970-80, dan
pendudukan negara-negara Islam seperti Afghanistan yang dijajah oleh Uni
Soviet. Transformasi lain yang berpengaruh adalah serangan Israel ke Lebanon,
dua perang yang terjadi di Irak, kemerdekaan negara-negara Kaukasus dari Uni
Soviet, dan pergolakan politik di wilayah utara Afrika.
Setengah abad yang lalu, para
sosiolog dan pakar ilmu politik di Dunia Barat tak pernah menduga bahwa Islam
di kemudian hari bakal menjadi satu kekuatan besar dalam tatanan internasional.
Sebab, sampai saat itu, pengaruh umat Islam dalam percaturan politik, ekonomi,
budaya dan regional sangat kecil. Di Amerika utara dan Amerika Serikat,
komunitas Muslim dan aktivitas mereka tak pernah dipertimbangkan. Namun sejak
tiga dekade silam, tepatnya setelah kemenangan revolusi Islam di Iran, semua
prediksi dan peta kekuatan mendadak berubah. Islam kini menjadi satu kekuatan
besar yang diperhitungkan oleh semua pihak dalam percaturan internasional.
Sejauh ini belum ada data akurat
tentang populasi Muslim di Amerika. Sebab sensus kependudukan di negara itu
yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali tidak menyertakan mazhab dan agama
dalam pendataan. Karenanya, jumlah warga Muslim di negara tidak lebih dari
perkiraan saja. Dalam datanya, pemerintah AS menyatakan bahwa sejak kemerdekaan
Amerika sampai tahun 1965 jumlah imigran Muslim yang datang ke negara ini
sangat kecil dibanding imigran dari negara-negara dan masyarakat non-Muslim.
Ditambahkan bahwa jumlah imigran Muslim yang datang ke Amerika antara tahun
1820 sampai 1965 tercatat sebanyak 520 ribu orang yang kebanyakannya berasal
dari kawasan Balkan di Eropa, Turki, India, Pakistan, dan Bangladesh.
Sementara itu, dari tahun 1966
sampai tahun 1980, imigran yang datang ke Amerika dari negara-negara Muslim
meningkat hingga 800 ribu orang. Meski mayoritas mereka beragama Islam namun
sebagian menganut agama lain seperti Kristen dan Yahudi. Jumlah imigran dari
negara-negara Muslim kembali menunjukkan peningkatan mencapai 920 ribu jiwa
pada dekade 1980 dan lebih dari satu juta jiwa antara tahun 1990 sampai 1997.
Dengan penjelasan tadi, berarti jumlah imigran dari negara-negara Muslim yang
datang ke AS antara tahun 1820 sampai 1997 mencapai total 3,3 juta jiwa atau
hanya lima persen dari keseluruhan jumlah imigran yang mencapai 64 juta jiwa.
Saat ini populasi warga Muslim di AS
diperkirakan berjumlah minimal enam juta dan maksimal 10 juta jiwa. Dari
sekitar 10 juta warga Muslim sebagian besar menganut mazhab Ahlussunnah dan
sekitar dua juta jiwa mengikuti mazhab Syiah. Sebagian besar Muslim Syiah di
Amerika berasal dari Iran yang diperkirakan jumlah mereka mencapai satu juta
jiwa. Selain dari Iran, warga Muslim Syiah di Amerika berasal dari Irak,
Lebanon, Afghanistan, Arab Saudi, Pakistan, India, Azerbaijan, Tajikistan,
Turkmenistan, Suriah dan negara-negara lain. Pada dekade 1970 dan 1960, Syiah
di Amerika tergolong sebagai komunitas muslim yang aktif di kancah politik.
Mereka memiliki andil besar dalam menggalang persatuan di antara umat Islam di
Amerika.
Kecenderungan kepada Islam di
kalangan Afro-Amerika menarik perhatian para pakar kependudukan. Sebagian besar
mereka bermazhab Sunni dan hanya sebagian kecil yang mengikuti mazhab Syiah.
Kelompok Muslim Amerika keturunan Afrika ini biasanya menunjukkan identitas
keislaman lewat nama dan tradisi mereka.
Tingkat kecenderungan untuk memeluk
Islam di Amerika pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 20 ribu kasus. 63 persen
di antaranya berkenaan dengan warga keturunan Afrika, 27 persen wawrga kulit
putih dan sembilan persen dari etnis Hispanik. Belum lama ini Radio Amerika
seksi siaran bahasa Persia dalam sebuah laporannya membahas tentang
perkembangan Islam di Amerika. Laporan ini dimulai dengan suara adzan. Reporter
selanjutnya mengatakan bahwa suara adzan ini bukan berasal dari salah satu
jalanan di Jakarta atau sebuah desa di Pakistan, tetapi dari menara Pusat Islam
Washington yang berada di jalan Massachusset Washington tempat kebanyakan
kedutaan besar asing berada. Pertumbuhan Islam di Amerika sedemikian pesat dan
hal ini diakui oleh para petinggi Gedung Putih.
Mantan Menteri Luar Negeri AS
Madeline Albright dalam sebuah pidatonya di Asosiasi Asia di New York menyebut
Islam sebagai agama yang tumbuh pesat lebih cepat dibanding agama yang lain di
Amerika. Sebagian besar warga Muslim Amerika tinggal di New York yang jumlah
diperkirakan mencapai satu juta jiwa. Setelah New York, Los Angeles menempati
urutan kedua disusul oleh Washington dan Detroit tempat kebanyakan imigran Arab
Muslim memilih bertempat tinggal. Di New York terdapat 50 masjid dan pusat
agama Islam yang sebagiannya dikelola oleh Louis Farrakhan.
Berbagai kalangan memprediksikan
bahwa pada sepuluh tahun mendatang, Eropa harus membenahi kembali identitasnya
dan menerima agama Islam dengan ajarannya yang mulia dan peradaban yang besar
sebagai bagian dari budaya yang tak terpisahkan dari Eropa. Prediksi ini
mengemuka sejalan dengan pertumbuhan warga Muslim di benua ini. Memang sejauh
ini belum ada data yang pasti mengenai populasi jumlah warga Muslim mengingat
tidak pernah ada upaya lembaga-lembaga resmi untuk mendatanya. Tahun 2010,
sebuah koran Jerman menerbitkan laporan mengenai populasi warga Muslim Eropa
yang diklaimnya mencapai 15 juta jiwa atau 3,3 persen dari total 455 juta
penduduk benua ini.
Dari seluruh negara Eropa Barat,
Jerman, Perancis, Austria dan Belanda adalah Negara dengan warga muslim
terbanyak. Empat persen warga Jerman atau 3,2 juta jiwa beragama Islam. Angka
ini sekaligus menempatkan warga Muslim sebagai minoritas terbesar di Jerman.
Dari jumlah itu, 2,4 juta jiwa berasal dari etnis Turki sementara sisanya
adalah imigran asal bekas Yugoslavia, Arab dan Iran. Di Inggris dengan populasi
warga sebesar 60 juta jiwa, dua juta tercatat sebagai warga Muslim atau 3
persen dari total penduduk negara itu. Kebanyakan mereka berasal dari negara
bekas jajahan Britania khususnya Pakistan dan Bangladesh. Di Perancis dengan
pendudukan 60 juta jiwa, enam juta jiwa beragama Islam yang umumnya pendatang.
Populasi warga Muslim Perancis didominasi oleh keturunan Turki.
Belanda, negara dengan penduduk 16
juta jiwa, 900 ribu warganya beragama Islam. di Austria, 340 ribu warga Muslim
tercatat sebagai bagian dari masyarakat negara itu dengan total penduduknya
yang berjumlah 8,1 juta jiwa. Warga muslim Austria umumnya datang dari Bosnia,
diikuti oleh pendatang dari Turki, dan imigran dari negara-negara Muslim
lainnya. Di Belgia dengan penduduknya yang berjumlah 10,3 juta jiwa, 380 ribu
orang atau 3,7 persen beragama Islam yang kebanyakan datang dari Maroko dan
Turki. Sementara itu, 70 persen warga Albania yang berjumlah 3,1 juta jiwa
beragama Islam. Di Bosnia Herzegovina, 1,5 juta warga dari total 5,4 juta jiwa
adalah warga Muslim.
Di Denmark dengan penduduknya
sebanyak lima juta jiwa, lima persen warganya beragama Islam. Di Italia, jumlah
warga Muslim mencapai 850 ribu jiwa atau setara dengan 1,4 persen penduduk. Di
Spanyol yang mengakui Islam sebagai salah satu agama resmi, terdapat sekitar
satu juta warga yang beragama Islam. Jumlah ini kurang lebih sama dengan 2,5
persen dari total penduduk di negara itu. Di Swedia jumlah warga Muslim
mencapai 300 ribu jiwa dari sembilan juta penduduknya yang mayoritas beragama
Kristen.
Beberapa waktu lalu, The Guardian
menurunkan laporan dari Pusat Riset Piu di Eropa tentang pertumbuhan populasi
warga Muslim yang sangat signifikan. Diprediksikan bahwa dalam 20 tahun ke
depan, populasi warga Muslim di Inggris akan mengalami pertumbuhan yang paling
tinggi di Eropa. Pusat riset lainnya di eropa bahkan menyebutkan angka yang
jauh lebih tinggi. para pakar strategis Barat sebelumnya sudah memperingatkan
akan terbentuknya komunitas Eropa Muslim pada tahun 2050. Faktor yang
melahirkan fenomena ini adalah peningkatan imigrasi Muslim ke Eropa yang
meningkat tajam disertai dengan kelahiran anak Muslim yang tinggi, dan di sisi
lain menurunnya populasi warga pribumi di negara-negara Eropa. Apalagi,
kepercayaan agama di tengah komunitas warga Eropa terhadap agama mereka juga
semakin menurun.
Riset yang dilakukan oleh lembaga
penelitian Kristen menunjukkan bahwa penurunan partisipasi warga Kristen dalam
acara-acara ritual keagamaan di gereja. Riset ini menyebutkan bahwa di Inggris,
hanya 6,3 persen warga Kristen yang setiap minggunya datang ke gereja untuk
menghadiri acara keagamaan. Disebutkan pula bahwa dalam 15 tahun terakhir
sekitar empat ribu gereja tepaksa ditutup dan dijual atau dialihfungsikan
karena sepi pengunjung. Sebagian kalangan memprediksikan bahwa dalam beberapa
tahun mendatang jumlah orang Kristen di Eropa yang beralih agama dan memeluk
agam Islam akan mengalami peningkatan yang signifikan. Contohnya di Glasco, ada
sekitar 200 orang yang asalnya beragama Kristen beralih ke agama Islam.
Para pemerhati mengatakan bahwa
loyalitas warga Muslim di Eropa dan ketaatannya dalam menjalankan ritual
keagamaan jauh lebih besar dibanding warga Kristen. Mereka rajin pergi ke
masjid dan getol memedalam pengetahuan akan agama mereka. Dalam beberapa tahun
terakhir, generasi muda Muslim di Eropa justeru nampak lebih taat dalam
beragama ketimbang orang tua mereka. Fenomena ini ditanggapi dengan sinis oleh
sejumlah kalangan sehingga memunculkan isu yang menyebutkan tentang Eropa
Islam. Isu inilah yang disinggung oleh Bernard Louis, salah seorang pakar
budaya Barat dalam suratnya kepada Pemimpin umat Katolik dunia Paus Benediktus
XVI. Dalam surat yang dikirin tahun lalu itu, Louis memperingatkan Paus akan
kemungkinan jatuhnya Eropa ke tangan umat Islam di masa mendatang.
Pusat penelitian Piu dalam sebuah
laporannya menyinggung soal penurunan polulasi warga Eropa seraya menambahkan
bahwa pada tahun 2048, Perancis akan menjadi negara Republik Islam karena
pertumbuhan populasi Muslim yang pesat yang di sana. Kondisi yang sama bakal
dialamai Jerman pada sekitar tahun 2050. Koran Inggris The Guardian dalam
laporannya menyebutkan bahwa bahaya yang lebih besar justeru muncul karena
tidak adanya tindakan yang semestinya di Eropa terhadap warga Muslim khususnya
di Inggris. Guardian menambahkan, diprediksikan bahwa pertumbuhan populasi
warga Muslim bakal terjadi lebih pesat di Eropa barat dan utara.
Kenyataan bahwa Islam adalah agama
yang sejalan dengan fitrah manusia sering diabaikan. Padahal faktor itulah yang
menjadi pemicu ketertarikan banyak orang kepada agama ini. Alih-alih membuka
mata dan menerima kenyataan yang ada, para penguasa rezim-rezim Eropa justeru
memandang perkembangan Islam dan pertumbuhan jumlah warga Muslim di Eropa
sebagai ancaman. Dengan memutarbalikkan fakta dan mengesankan Islam sebagai
agama kekerasan dan anti damai, para pemimpin Eropa berusaha menjauhkan
warganya dari Islam. Akibatnya propaganda Islamphobia gencar dilakukan oleh
rezim-rezim itu. Seiring dengan itu, kubu nasionalis ekstrim di Eropa sengaja
membesar-besarkan jumlah populasi umat Islam untuk mengesankannya sebagai
ancaman besar bagi masyarakat Eropa. Padahal, jika dilihat dari prinsip
demokrasi yang diagung-agungkan oleh Barat, seharusnya warga Muslim berhak
hidup damai di kawasan itu.
Alhasil, seperti ditulis oleh The
Guardian, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 populasi warga Muslim di sembilan
negara Eropa termasuk Perancis, Rusia dan Belgia akan meningkat menjadi lebih
dari 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa untuk sepuluh tahun mendatang, Eropa
sudah harus mempersiapkan diri mengubah identitasnya dan menerima Islam sebagai
bagian dari peradaban Eropa.
[Sumber: IRIB Indonesia]