Banyak gunjingan miring tentang lembaga
pendidikan yang satu ini. Mulai dari paham liberal dan ideologi sekuler sampai
kehidupan bebas mahasiswanya. Ada apa sebenarnya dengan IAIN?
Sabili – Sejak pertama kali berdiri, Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) khususnya IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
memang tak pernah sepi dari kontroversi. Catatan-catatan kontroversi lembaga
pendidikan tinggi yang satu ini berkisah tentang banyak hal, mulai dari aliran
pemikiran serta paham ideologi yang marak dan subur di dalamnya.
Layaknya sebuah kampus, wajar-wajar saja jika
tumbuh subur berbagai gerakan pemikiran di dalamnya. Namun, pada
perkembangannya, hal-hal yang nyeleneh menjadi main stream di kampus ini.
Alih-alih hendak melahirkan ulama-ulama pilih tanding, IAIN justru lebih
terkenal dengan orang-orang yang “terlalu berani” menafsirkan segala hal.
Qur’an dan hadits tidak saja menjadi kajian, tapi berubah menjadi teks yang
sangat relatif dan multi terjemah. Dan beredarlah sebuah akronim, IAIN
diplesetkan menjadi Ingkar Allah Ingkar Nabi.
Tudingan seperti itu semestinya tak perlu
terjadi. Apalagi jika IAIN memegang teguh pada visi dan misi awal didirikannya
lembaga pendidikan tinggi Islam ini. Salah satu tujuan didirikannya IAIN
adalah, mencetak kader pemimpin umat Islam bagi perjuangan bangsa Indonesia ke
depan. Selain itu, dengan menimba ilmu di IAIN, para mahasiswa diharapkan
memiliki akhlak dan moral yang baik, berpikir rasional, analitis, berorientasi
pada pemecahan masalah serta berpandangan jauh ke depan.
Visi dan misi itu kembali ditekankan pada
proses peralihan status institut ke universitas. Tanggal 20 November 2001, IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta resmi menjadi Universitas Islam Negeri.
Sejak saat itu pengelola UIN Jakarta berobsesi menjadikan IAIN Syarif
Hidayatullah sebagai sentral kajian agama Islam di kawasan Asia Tenggara.
“Dengan dibukanya fakultas lain selain
fakultas agama, UIN diharapkan menjadi institusi pendidikan Islam bergengsi
yang mampu mewadahi kecenderungan masa depan dengan bersendikan agama Islam.
Tapi, tidak ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern,” kata Pembantu Rektor III UIN (IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), Dr.
Nasaruddin Umar.
Tapi nyatanya, cita-cita dan semangat saja
tak cukup membuat kampus ini sebagai pendidikan tinggi Islam rujukan. Cita-cita
IAIN menelurkan sarjana yang ulama dan ulama yang sarjana, jauh panggang dari
api. Perjalanan waktu mencatat, banyak kisah suram yang terjadi dan merebak di
kampus IAIN. Dan anehnya, jika diurut-urut, sekian banyak catatan suram ini
lahir dan bermula dari pemikiran gila yang berkembang di IAIN. Salah satunya
yang saat ini sedang hangat diperbincangkan di kalangan kampus IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta adalah, tuntutan pelepasan wajib jilbab di kampus yang
masih menyandang nama Islam ini.
Bersamaan dengan perubahan status IAIN menjadi
UIN, beberapa kelompok mahasiswa tergabung dalam organisasi Forum Mahasiswa
Ciputat (Formaci) gencar menolak pewajiban jilbab di kampus. Berbagai poster
penolakan jilbab ditempel di mana-mana. Bahkan, dalam salah satu poster yang
ditempel bergambar ala vignet perempuan telanjang bertuliskan: “Jangan bermimpi
membebaskan bangsa jika di kampus kita masih ada ketertindasan.”
Tak hanya itu, di forum-forum diskusinya,
aktivis Formaci juga kerap menyatakan bahwa ruang publik harus bebas dari
pengaruh teologi. Siapa pun, termasuk kampus, menurut mereka haram hukumnya
mengatur soal jilbab. “IAIN tak boleh mengatur hak privat. Mau pakai kaos,
sandal, celana pendek, topi, tak ada persoalan. Yang penting bisa menerima
materi kuliah,” tutur Ketua Formaci, Iqbal Hasanuddin.
Tak hanya sang ketua yang nampak gigih, pada
umumnya mahasiswa yang tergabung dalam Formaci sangat gigih memperjuangkan
idenya. Padahal, menurut Pembantu Rektor II IAIN, Dr. Abuddin Nata, kelompok
yang setuju jilbab jauh lebih banyak ketimbang yang tak setuju. “Busana muslim
tetap masih eksis hingga saat ini,” katanya.
Tentang Formaci yang tak terlalu besar itu
dibenarkan pula oleh Nasaruddin. Ia menerangkan wacana yang digulirkan Formaci
tak terlalu besar pengaruhnya di lingkungan kampus. Ia juga menambahkan bahwa
kampus sulit mengabulkan ide Formaci karena bertabrakan dengan visi dan misi
yang sudah menjadi konsensus bersama. “Setiap mahasiswa IAIN harus tunduk pada
aturan di IAIN. Meski HAM masalah universal, jangan dijadikan alasan
melegitimasi sesuatu yang kontradiktif dengan visi IAIN,” sambungnya.
Masalah jilbab adalah satu dari sekian
persoalan nyeleneh di kampus ini. Yang lainnya bejibun. Fenomena ini dibenarkan
Erni, seorang mahasiswi IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menyatakan
pemikiran-pemikiran yang menjungkirbalikkan akal sehat kita sebagai seorang
muslim masih banyak dijumpai. Dengan nada risau, Erni mengisahkan, ketika
baru masuk dulu, ada alumni menyatakan boleh menyebut Allah dengan Allah
nirrajiim (Allah terkutuk) dan syaitan dengan syaitan subhannahu wa ta’ala
(syaitan maha suci). Mereka yang nyeleneh ini beralasan tak ada masalah dalam
penyebutan itu. Toh secara substansial, menurut merek, tidak berubah. Allah
tetap maha Suci dan syaitan tetap terkutuk.
Masih menurut Erni, karena sering berpikir
hal-hal yang “gila” seperti itu, maka tak sedikit teman-temannya yang kemudian
tak lagi melaksanakan ibadah wajib seperti shalat lima waktu. “Ini karena kita
dibiarkan berpikir sebebas-bebasnya tentang apapun juga,” tutur Erni
Pendapat Erni dibenarkan Nur Hasanah, Ketua
Keputrian LDK IAIN Syarif Hidayatullah. Kunci persoalan ini menurut Nur, karena
dosen turut pula membiarkan semuanya mengambang dan menyerahkan sepenuhnya
mahasiswa mengambil keputusan, lepas dari nilai-nilai yang selama ini dianut.
“Kalau tidak punya basic yang kuat, banyak teman-teman yang malah gamang,”
katanya.
Tentang kebebasan ini, staf pengajar IAIN
Sunan Gunung Djati, Daud Rasyid Sitorus berkomentar, kebebasan dalam Islam
bukan bebas berpikir semaunya. Ahli tafsir hadist ini menekankan, ada koridor
berdasar kaidah al Qur’an dan as Sunnah yang harus diperhatikan. “Setelah itu,
baru diberi kebebasan menelaah berbagai persoalan,” tuturnya.
Soal pemikiran yang nyeleneh, sebetulnya
bukan barang baru di kampus ini. Jauh sebelum Formaci menolak pewajiban jilbab
di kampus, pemikiran kontroversial seperti itu acap didengungkan Harun
Nasution. Di era tahun 70-an, mantan rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
ini sangat terkenal dengan ide-ide kebebasan berpikirnya. Ia memberi kebebasan
berpikir yang sebebas-bebasnya kepada seluruh civitas akademika IAIN. Niat
awalnya memang untuk menggali pemikiran-pemikiran Islam, tapi apa lacur, tanpa
koridor niat itu berubah menjadi liar.
Di satu sisi, meski ada pihak yang menilai
positif, namun kebebasan berpikir yang dikembangkan Harun pada gilirannya tak
sedikit yang berbenturan dengan ketentuan-ketentuan Islam yang qath’i (baku).
Contohnya ketika ia mempermasalahkan soal ketentuan pembagian warisan untuk
perempuan. Dalam soal ini, Harun cenderung berpendapat perempuan mempunyai hak
yang sama dengan pria. Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan pembagian
warisan yang ada dalam al Qur’an dan hadits.
Gayung bersambut. Kebebasan berpikir
menyangkut soal keislaman yang dikembangkan mantan rektor IAIN, Harun Nasution,
disambut Nurcholis Madjid dengan mengembangkan ide-ide sekuler ke
tengah-tengah masyarakat. Terutama di dekade 80-an, melalui berbagai diskusi
dan buku-buku yang ditulisnya, Cak Nur, panggilan akrabnya, paling terdepan
menghasung pemisahan soal politik dengan masalah agama.
Contohnya adalah saat Cak Nur mengatakan
“Islam Yes, Partai Islam No.” Sejumlah pihak menilai pernyataan Cak Nur itu
jelas-jelas mendorong sekulerisme agama. Padahal politik tidak bisa dipisahkan
dengan agama. Politik menyangkut masalah agama dan agama pun menyangkut masalah
politik.
Pola pikir liberal dan sekulerisme, tak
berhenti pada sosok Harun Nasution dan Cak Nur saja. Pola pikir seperti itu
agaknya sangat diminati segelintir civitas akademika IAIN. Bahkan, menurut
sejumlah pihak, eksistensi paham ini makin mengkr istal dan menyebar ke seluruh
kampus, terutama ke organisasi kemahasiswaan dan forum-forum studi.
Berbagai organisasi kemahasiswaan seperti
PMII, HMI, IMM dan forum-forum studi seperti Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci),
Piramida Circle, Makar, ISAC dan sebagainya, menurut sejumlah pihak, memberi
sumbangsih besar pada corak liberalisme ini. Mereka giat dan gencar mengkaji
sejumlah faham kontroversial seperti Marxisme, Parenialisme, Sekulerisme dan
Rasionalisme. Dari sana kemudian muncul berbagai terminologi baru seperti
Mazhab Ciputat, Islam Inklusif, Islam Liberal dan Islam Modern dengan berbagai
pola lakunya masing-masing.
Di sisi yang lain, muncul pula gerakan
kultural yang berusaha menyeimbangkan pemikiran-pemikiran kelompok liberal yang
terlalu berpikir bebas. Mereka adalah mahasiswa yang tergabung ke dalam wadah
Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Salah satu tujuan organisasi mahasiswa Islam
ini adalah berusaha menyelamatkan IAIN dari imej yang tidak bagus dengan
menampilkan akhlak sesuai dengan al Qur’an dan sunnah Nabi. “Kami mau
membuktikan bahwa masih ada orang-orang yang peduli akan perbaikan akhlak itu,”
kata Ahmad Zaky, Ketua LDK IAIN Syarif Hidayatullah.
Dua kubu ini pun, dengan sendirinya memulai
“pertarungan” mereka. Tentang adanya “pertarungan” dibenarkan oleh Nasaruddin
Umar. Menurutnya, kekuatan LDK dan liberal sama dan seimbang. Namun, mereka
sebenarnya kelompok minoritas. Justru kelompok yang mayoritas, kata Nasaruddin
adalah mereka yang tidak ke mana-mana atau silent. “Yang silent majority itu
tidak marketable sehingga tidak dilirik oleh media,” ujar Nasaruddin.
Pendapat Nasaruddin dibenarkan Ketua PMII
Komisariat IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Alamsyah M Djafar. Ia membagi
kelompok di IAIN menjadi lima. Kelompok silent majority, kelompok yang
cenderung literal yang diwakili LDK, kelompok liberal seperti HMI, IMM,
kelompok Postra (Post Tradisionalisme NU) yang diwakili oleh PMII dan kelompok
Pop yang diwakili UKM seperti Alkaidah, RIAK, Persatuan Musik. “Kelompok
pertama (silent) itu yang banyak,” katanya.
Dalam perkembangannya, menurut pengamatan
sejumlah pihak, liberalisme cenderung membawa perubahan negatif, terutama
terhadap akhlak mahasiswa. Lantaran berpikir liberal, mahasiswa cenderung
longgar dalam memegang kaidah-kaidah agama. Bahkan tak sedikit dari mereka yang
malah menggeluti pekerjaan yang syubhat menurut pandangan agama Islam seperti
menggeluti musik-musik keras ala Barat. Atau berpakaian seronok, ketat,
bercelana sobek-sobek bahkan tak kurang yang melakukan body piercing (tindik)
di berbagai kujur tubuhnya.
Itu belum seberapa. Ada yang lebih parah
lagi. Dari hasil investigasi wartawan SABILI di lingkungan kampus IAIN,
dijumpai budaya pergaulan bebas. Laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya
bebas bergandengan tangan tanpa rasa takut dan malu. Tak hanya di IAIN Jakarta,
di beberapa kampus IAIN di kota-kota lain pun punya perilaku yang sama. Budaya
free sex hampir dengan mudah bisa kita temui di lingkungan kampus ini.
Saat SABILI berkunjung ke rumah penduduk di
sekitar kampus IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, banyak di antara mereka
menuturkan dengan rasa risih tentang perbuatan amoral mahasiswa IAIN. Ibu
Nur Hanifah misalnya, pengelola kos-kosan warga Ciputat ini mengaku di depan
rumahnya terhitung sudah empat kali ada mahasiswa IAIN yang digrebek warga saat
mereka berbuat mesum. Masih menurut Ibu Nur, mahasiswa itu kadang tak ada rasa
takut sedikit pun saat melakukan perbuatan haram itu. Mereka sengaja membuka
pintu dengan harapan mengecoh warga agar tak curiga.
Kejadian lebih heboh diceritakan Nur Hasanah.
Saat temannya melakukan praktik Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang lokasinya di
sekitar Ciputat, ia memasuki salah satu rumah yang kebetulan milik seorang
dukun beranak. Dukun itu bercerita dalam satu tahun ada sekitar 10-15 mahasiswi
yang minta digugurkan kandungannya. “Harusnya saya yang diberi ilmu agama. Kok
malah saya yang mendakwahi kalian. Saya ini bukan pembunuh bayi. Saya ini
penolong bayi,” ujar Nur Hasanah menirukan sang dukun bayi.
Mirip seperti di IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, perbuatan amoral seperti itu terjadi juga di sebagian mahasiswa IAIN
Sunan Gunung Djati (SGD), Bandung. Di lingkungan kos-kosan sekitar kampus, tak
jarang dijumpai mahasiswa yang tidur di kos mahasiswi.
Menurut sumber SABILI yang dekat dengan IAIN
SGD, ada gedung Z yang kerap digunakan untuk melakukan mesum. Petugas
kebersihan gedung itu, setiap malam acap menemukan dua atau tiga pasang
mahasiswa/i yang asyik bermesum ria. “Ini sungguh memprihatinkan,” ujar sumber
itu.
Temuan tim SABILI di lapangan betul-betul
menggiriskan. SABILI menerima informasi dari seorang yang melakukan penelitian
dengan sampel dua apotik di dekat kampus. Diketahui, setiap Sabtu malam, alat
kontrasepsi kondom sering terjual habis. Sayang, saat penelitian ini diajukan
sebagai skripsi, dosen pembimbingnya menolak penelitian itu. “Dosen khawatir
kalau menimbulkan preseden buruk buat mahasiswa,” kata sumber itu.
Faktanya sudah jelas. Fenomena seperti ini
ternyata tak hanya tejadi di dua kampus itu, tapi terjadi juga di beberapa
kampus IAIN seperti IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel,
Surabaya. Nampaknya, imej negatif yang timbul dari liberalisme sudah sangat
mendarah daging. Meski demikian, tak ada kata terlambat jika ingin
menyelamatkan IAIN yang sudah menjadi aset umat ini. Mulai sekarang, jalin
ukhuwah dan satukan barisan, selamatkan IAIN.
oleh: Rivai Hutapea
- Dari Majalah Sabili