Menjadi setan ternyata juga tidak mudah. Keserakahan
manusia pada kekuasaan membuat setan --musuh utama manusia-- terancam musnah.
Dengan tubuh menggigil dan berkeringat dingin, setan minta manusia
menyelamatkannya.
Kisah setan ketakutan itu berasal dari Mesir, bukan dari Indonesia. Di
Indonesia, setan mendapat tempat istimewa. Cukup duduk di kursi, manusia
berebut menemuinya dengan berbagai kepentingan. Setan pun tak perlu kerja keras
untuk memperdaya manusia, karena sebagian besar tugasnya telah diambil-alih
manusia. Di Mesir, budayawan besar Taufik Al-Hakim (1898-1987), terampil betul menceritakan pergulatan batin setan. Dalam naskah dramanya, yang diterjemahkan Ali Audah, berjudul Setan dalam Bahaya, Taufik mengejek ulah manusia. Satu malam, tulis Taufik, setan yang berpakaian merah, menemui seorang filsuf di rumahnya. Setelah memperkenalkan diri dan basa-basi, setan berpenampilan santun itu, meminta Si Filsuf berpikir keras untuk menyelamatkan dirinya. Setan mengaku terancam dan dalam bahaya besar. Tentu saja Si Filsuf bingung. Bagaimana mungkin setan yang tugas utamanya memperdaya manusia, merasa terancam dan minta tolong kepada manusia?
Setan yang gemetaran, menjelaskan sumber ketakutannya. Para pemimpin dunia, kata setan, mengobarkan perang, menciptakan peluru kendali, bom atom, dan senjata pemusnah massal lainnya. Setan meminta Si Filsuf menghentikan itu semua. Alasannya, jika peperangan terjadi, maka manusia semua akan mati. Jika umat manusia mati, terjadilah kiamat. Nah, di sinilah ketakutan setan itu. Sebab, jika kiamat terjadi, setanlah yang pertama sekali dan di depan mempertanggungjawabkan kedurhakaannya kepada Tuhan.
Si Filsuf semakin tidak mengerti. Bukankah selama ini justru setanlah yang membisikkan kepada para pemimpin dunia untuk saling menghancurkan, menghasut, dan mengadu-domba? ''Tuan Filsuf yang terhormat,'' kata setan. ''Aku kini menyendiri. Hidupku tenteram. Sudah gilakah aku mau membakar dunia ini seluruhnya, termasuk aku di dalamnya?''
Si Filsuf paham dan bersedia memikirkan jalan keluar menyelamatkan dunia. Tapi untuk itu, Si Filsuf minta bayaran. ''Biayanya harus kita setujui dahulu supaya aku dapat berpikir keras.''
Aha, itulah manusia. Untuk menyelamatkan dunia tempatnya berada saja, manusia meminta bayaran. Tapi, siapa yang peduli pada setan yang gemetar, berkeringat dingin, stres, atau bahkan dalam bahaya serius sekalipun. Setan tak perlu dibela, karena dia telah memilih jalannya. Sesungguhnya manusialah yang dalam bahaya. Manusia membangun untuk kemudian menghancurkannya. Atas nama perdamaian, manusia menciptakan mesin perang, saling membunuh, dan teror. Manusia membuat obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, saat bersamaan menebarkan racun mematikan. Manusia memberikan makan kepada orang miskin, untuk kemudian memanfaatkannya. Manusia menarik pajak dari semua orang, tak peduli kepada petani yang kesulitan makan, kemudian pajak itu dilahapnya.
Pada bagian akhir drama itu, setan terperanjat menyaksikan Si Filsuf bertengkar keras dengan isterinya karena uang belanja. Setan --yang tak pernah berumah tangga-- itu akhirnya lari ketakutan. Taufik Al-Hakim tidak sedang membela setan, melainkan mengejek manusia. Dalam drama tiga pemain itu, Taufik memperlihatkan betapa setan dan manusia sulit dibedakan. Kini pun, dalam keseharian di dunia yang menjadikan harta dan kekuasaan sebagai ukuran, kita merasakan betapa sulit membedakan keduanya. Terkadang, keduanya seperti dua sisi mata uang, namun pada saat lain keduanya berada di sisi yang sama. Lalu, siapa kita?.
0 komentar:
Posting Komentar