Ada cendekiawan dan
ulama melakukan pengkaburan antara iman dan kufur, mukmin dan kufur. Ia juga
mengkaburkan haq dan bathil . Baca Catatan Akhis Pekan (CAP) Adian Husaini
ke-109
Senin, 25
Juli 2005
oleh: Adian Husaini
Hidayatullah.com--Pada Hari
Jumat tanggal 15 Juli 2005, Markas Ahmadiyah Indonesia yang berlokasi di
Parung Bogor, diserbu oleh massa umat Islam. Akhirnya, markas itu ditutup
resmi oleh aparat, dan Jemaat Ahmadiyah dievakuasi dari tempat tersebut.
Pemda dan aparat Bogor -- merujuk kepada keputusan MUI dan Departemen Agama –
juga kemudian menutup pusat kegiatan Ahmadiyah di kota itu.
Kasus
Ahmadiyah itu kemudian memunculkan banyak ragam wacana keagamaan. Salah
satunya, adalah masalah diskursus tentang kebenaran dan kebebasan beragama.
Masalah
yang sekian lama menjadi bahan perbincangan, kemudian menghangat kembali. Ada
yang menyatakan, bahwa manusia tidak berhak menghakimi keyakinan orang lain,
dan memaksakan keyakinannya terhadap orang lain.
Dia kutip
ayat al-Quran, “Barangsiapa yang mau silakan beriman, dan siapa yang mau
silakan kafir.” Jadi, biarkanlah saja orang mengikut pendapat apa saja, dan
menyebarkan pendapatnya, apa saja jenisnya. Termasuk paham Ahmadiyah, yang
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Sebagai
contoh, ungkapan Masdar F. Mas’udi, salah satu Ketua PBNU, yang dikutip
Harian Kompas (20/7/2005), yang menyatakan, “NU merasa tidak berhak
menfatwakan sesat terhadap para pengikut Ahmadiyah.”
Dia juga
menyatakan, bahwa Allah-lah yang Maha Tahu siapa diantara manusia yang
berpetunjuk dan yang tersesat. Dalam Kongres NU ke-5 di Pekalongan tahun
1930, diputuskan tentang jenis-jenis kafir: (1) Kafir ingkar: ialah orang yang tidak
mengenal Tuhan sama sekali dan tidak mengakuinya, (2) Kafir juhud: ialah orang
yang mengenal Tuhan dalam hati, tetapi tidak mengikrarkan dengan lesannya,
seperti Kafirnya iblis dan orang Yahudi. (3) Kafir nifaq: ialah orang yang mengikrarkan
dengan lisan, tetapi tidak mempercayai Tuhan dalam hatinya, (4) Kafir ‘Inad: ialah orang
yang mengenal Tuhan dalam hatinya dan mengikrarkan dengan lisannya, tetapi
tidak taat kepada-Nya.
Merujuk
kepada Keputusan Kongres/Muktamar NU yang dikutip dari Kitab Syarah Safinatun Najah itu,
kita dapat memahami, bahwa NU dengan tegas menyebut Iblis dan Yahudi sebagai
kafir. Iblis kafir karena membangkang kepada Allah dan Yahudi juga
jelas-jelas kekafirannya karena tidak mengimani kerasulan Muhammad saw.
Dalam
masalah keimanan, kita mengenal rukun iman, yakni beriman kepada Allah,
Malaikat, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulnya, Hari Akhir, dan takdir Allah.
Keenam perkara itu termasuk ke dalam “rukun”, artinya keimanan seseorang
tidak sah jika tidak mencakup keenam rukun tersebut. Yang namanya ‘rukun salat’
artinya, salat kita batal jika tidak mengerjakan salah satu rukunnya, seperti
niat, ruku’, sujud, i’tidal, dan sebagainya.
Oleh sebab
itu, masalah iman dan kufur, mukmin dan kufur, adalah masalah mendasar dalam
Islam. Seharusnya menjadi tugas para ulama untuk menjelaskan kepada umatnya,
mana yang lurus dan mana yang sesat, mana yang iman dan mana yang kufur.
Ulama tidak
seyogyanya malah membuat masalah menjadi kabur, dengan menyatakan, bahwa
manusia tidak berhak memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya
Allah saja yang berhak menghukumi. Hanya Allah saja yang tahu mana yang sesat
dan mana yang mendapat petunjuk.
Pengkaburan
seperti itu sangat tidak benar, mengingat, setiap hari, setiap Muslim minimal
17 kali berdoa kepada Allah: Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus,
yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka dan
bukannya jalan orang-orang yang Engkau murkai atau jalannya orang-orang yang
sesat. Rasulullah saw juga mengajarkan doa kepada kita: Ya Allah tunjukkanlah
kepada kami yang haq itu haq dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk
mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang bathil itu bathil, dan
berikanlah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.
Tugas para
ulama atau cendekiawan adalah menunjukkan mana yang salah dan mana yang
benar. Itulah tugas kenabian yang diamanahkan kepada para pewaris Nabi
(ulama). Karena itu, sejak puluhan tahun lalu, NU sudah menjelaskan
jenis-jenis kaum kafir. Komentar Masdar semacam itu tentunya tidak mewakili
suara resmi NU, dan hanya pendapat pribadi yang oleh media massa dibuat
seolah-olah mewakili suara NU. Dalam kitab-kitab aqidah Asy’ariyah juga penuh
dengan penjelasan tentang kekeliruan paham Mu’tazilah.
Sebagai
contoh, Imam al-Ghazali sama sekali tidak ragu-ragu ketika menyebutkan
tentang kekeliruan sejumlah pemikiran para filosof, seperti pemikiran tentang
keabadian alam. Dalam Kitabnya, al-Munqidh
Minadh Dhalal, dengan tegas al-Ghazali menyebutkan bahwa golongan
“dahriyyin”, yakni yang tidak mengakui adanya Tuhan, dan mengakui bahwa alam
ini ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh suatu pencipta, adalah
termasuk kafir zindiq. Begitu juga golongan “thabii”, yang tidak mengakui adanya sorga,
neraka, ganjaran bagi tindakan ketaatan, dan siksaan bagi pelaku maksiat,
dinyatakan al-Ghazali sebagai golongan kafir zindiq.
Jadi,
sebagai ulama, maka tugas pentingnya adalah menunjukkan mana yang haq dan
yang bathil,
mana yang ma’ruf dan
mana yang mungkar.
Sebab, amar ma’ruf nahi
munkar, adalah kewajiban penting atas kaum Muslim.
Jika
seseorang masuk dalam golongan bingung (golbin),
maka dia tidak akan dapat melakukan kewajibannya dengan baik.
Keyakinan
merupakan harta yang tak ternilai harganya bagi seorang manusia. Ketika
seseorang kehilangan keyakinan, dan senantiasa berada pada keraguan akan
sesuatu (golongan bingung/golbin), maka ia telah memasuki satu fase kehidupan
yang penuh dengan kegamangan dan tidak akan pernah merasakan kebahagiaan
hakiki.
Dalam
puisinya Bal-e-Jibril, penyair terkenal Pakistan, Mohammad Iqbal mengingatkan
bahaya pendidikan Barat modern yang berdampak terhadap hilangnya keyakinan
kaum muda Muslim terhadap agamanya.
Padahal,
menurut Iqbal, keyakinan adalah aset yang sangat penting dalam kehidupan
seorang manusia. Jika keyakinan hilang dari diri seorang manusia, maka itu
lebih buruk ketimbang perbudakan.
Dikatakan
Iqbal dalam puisinya: “Conviction
enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which
makes men self-sacrificing; Know."
Kita perlu
menggarisbawahi peringatan Iqbal tersebut. Seorang yang hilang keyakinan
terhadap agamanya, terhadap kebenaran dan kesesatan, maka ia akan bersikap
tidak peduli dengan kemungkaran.
Cara
berpikir individualisme dan “cuekisme” terhadap kemungkaran bukanlah lahir
dari pandangan hidup Islam, melainkan cara pandang Barat yang menjungjung
tinggi paham kebebasan individu. Karena itu, dalam system hukum Barat,
perzinahan dan minuman keras, tidak dianggap kejahatan selama tidak merugikan
orang lain.
Siapa pun
yang berzina, asal suka sama suka, maka dia tidak dianggap melakukan tindak
kriminal. Siapa pun yang meminum khmar, asal dilakukan sendiri dan tidak
mengganggu orang lain, maka hal itu bukan kejahatan.
Cara
pandang semacam itu tidak sama dengan cara pandang Islam. Karena itu, di
Barat tidak ada konsep “amar
ma’ruf nahi munkar”, sebagaimana dalam ajaran Islam.
Ketika
pandangan hidup Barat yang individualis merasuk dalam alam pikiran kaum
Muslim, maka tindakan amar
ma’ruf nahi munkar, dapat dipandang sebagai satu bentuk kejahatan
yang tidak disukai oleh masyarakat.
Dalam Kitab
Ihya’ Ulumuddin,
Imam Ghazali mengutip satu ungkapan dari Hudzaifah Ibnul Yaman, “Akan dating
suatu zaman, ketika bangkai keledai akan lebih mereka sukai daripada seorang
mukmin yang biasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Menjelaskan
tafsir QS al-Maidah ayat 105, Ibnu Mas’ud r.a. menyebutkan akan datangnya
satu zaman dimana orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar akan dibenci
dan dikecam.
Banyak
kalangan yang mengaku cendekiawan saat ini rajin menggunakan ungkapan “jangan
merasa benar sendiri”, “jangan menghakimi keyakinan orang lain”, “jangan
merasa menjadi Tuhan”, dan sejenisnya.
Arah dari
ungkapan-ungkapan itu ialah agar orang Muslim tidak peduli dengan
lingkungannya; tidak peduli dengan kerusakan dan kemungkaran yang berkembang
di sekelilingnya, karena itu semua adalah hak asasi manusia.
Hak asasi
setiap orang untuk meyakini dan menyebarkan keyakinannya. Tidak boleh
diganggu dan dihalangi, apalagi dihentikan. Apapun jenis kepercayaan dan
tindakannya.
Dalam kasus
Ahmadiyah, banyak sekali ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh berbagai
pihak yang sifatnya “asbun”, asal bunyi, tanpa melalui pengkajian masalah
yang serius. Bahkan, banyak yang bernada membela Ahmadiyah, yang jelas-jelas
kesesatannya.
Dalam
tulisannya di Harian Republika
(20/7/2005), Wakil Ketua KISDI KH A. Khalil Ridwan, menjelaskan
tentang kesesatan aliran Ahmadiyah.
Keputusan
Konferensi Organisasi Islam se-Dunia (14-18 Rabiulawwal 1394 H) dan keputusan
Rabithah Alam Islami telah menetapkan bahwa Ahmadiyah adalah sekte yang
menyesatkan dan tidak ada kaitan dengan agama Islam.
Negara-negara
Islam juga dilarang menyebarkan paham ini. Keputusan Munas Alim Ulama
se-Indonesia tahun 1980 telah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok di
luar Islam, sesat dan menyesatkan.
Ini
dituangkan dalam Keputusan No 05/Kep/Munas II/MUI/1980 (pada 17 Rajab 1400H/1
Juni 1980M, ditandatangani oleh Ketua MUI Prof. Dr. Hamka dan Sekretaris Drs
H. Kafrawi MA, juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI (Menag) Alamsyah R. Prawiranegara).
Di samping itu juga ada Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji
Departemen Agama No D/B4.01/5099/84, tgl 20 September 1984, yang berisi
penegasan supaya ulama menjelaskan tentang sesatnya Jemaat Ahmadiyah.
Sudah
bertumpuk-tumpuk fakta-fakta yang membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad – yang
dipercayai oleh Ahmadiyah sebagai nabi – adalah nabi palsu.
Jadi, dalam
pandangan Islam, Ahmadiyah adalah sebuah kemungkaran, karena menyerang aqidah
yang paling asas, yaitu konsep tentang kenabian.
Karena
ajaran ini disebarluaskan ke tangah masyarakat Muslim, tentu, sesuai dengan
ajaran Islam, kaum Muslim berkewajiban mencegah dan menghentikannya. Tidak
ada kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran dalam bidang aqidah.
Korupsi
iman merupakan jenis korupsi yang paling besar, dibandingkan korupsi harta.
Karena itu, aneh sekali jika ada sebagian kalangan Muslim yang menganggap
enteng masalah ini, dan lebih menganggap penting masalah pemilihan lurah,
camat, atau walikota.
Imam
al-Ghazali menulis dalam Ihya
Ulumuddin, bahwa syarat pertama pelaku amar ma’ruf nahi mungkar adalah mukallaf (yakni yang
telah terbebani kewajiban agama), muslim, dan mampu. Maka, orang gila, anak
kecil, orang kafir, atau yang tidak berkemampuan, tidak terbebani dengan kewajiban
melaksanakan amar ma’ruf
nahi mungkar.
Jadi,
selama seseorang tidak masuk kategori kafir, gila, atau anak-anak, maka ia
wajib melaksanakan kewajiban agama ini. Bahkan, kata al-Ghazali, tindakan
amar ma’ruf nahi mungkar tetap wajib dilakukan, meskipun mereka tidak
mendapatkan izin dari penguasa (wa
in lam yakuunuu ma’dzuniina).
Imam
al-Ghazali juga menyebutkan, amar
ma’ruf nahi mungkar bisa dilakukan dengan cara memberi nasehat
atau dengan cara memaksa.
Untuk
pemberi nasehat disyaratkan adanya sifat ‘adil, yakni si pemberi nasehat
bukanlah orang yang fasik, yang hobi melakukan maksiat.
Sementara
itu, syarat ‘adil tidak diperlukan dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dengan
kekuatan (secara paksa). Karena itu, menurut Imam Ghazali, seorang yang
dikenal sebagai fasiq sekalipun, boleh menghancurkan persediaan khamr atau alat-alat dan
tempat maksiat – sepanjang dia mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk itu.
Penjelasan
Imam al-Ghazali tentang amar
ma’ruf nahi mungkar dengan tangan ini, insyaallah, akan kita
bahas secara khusus pada catatan berikutnya, mengingat banyaknya pendapat
yang dikeluarkan oleh para tokoh bahwa “Islam tidak mengajarkan cara-cara
kekerasan dalam berdakwah”.
Dengan itu,
mudah-mudahan kita tidak tersesat dalam opini yang salah, dan dapat menilai
suatu kasus dengan adil, tanpa terburu-buru menyalahkan atau membenarkan satu
pihak. Wallahul Muwafiq ilaa aqwamit thaariq.
|
0 komentar:
Posting Komentar