Abdullah
bin Dinar meriwayatkan bahwa suatu hari dia berjalan bersama Amirul Mukminin
Umar bin Khattab dari Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau
bertemu dengan anak gembala. Lalu timbul dalam hati Khalifah Umar untuk menguji
sejauh mana kejujuran dan keamanahan si anak gembala itu.
Maka, terjadilah dialog berikut ini. ''Wahai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!'' ujar Amirul Mukminin. ''Aku hanya seorang budak,'' jawab si gembala. Umar bin Khattab berkata lagi, ''Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala.''
Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ''Fa ainallah?'' (Kurang lebih maknanya adalah, ''Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?''
Maka, terjadilah dialog berikut ini. ''Wahai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!'' ujar Amirul Mukminin. ''Aku hanya seorang budak,'' jawab si gembala. Umar bin Khattab berkata lagi, ''Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala.''
Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ''Fa ainallah?'' (Kurang lebih maknanya adalah, ''Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?''
Umar bin Khattab adalah seorang khalifah, pemimpin umat yang sangat berwibawa lagi ditakuti, dan tak pernah gentar menghadapi musuh. Akan tetapi, menghadapi anak gembala itu beliau gemetar, rasa takut menjalari seluruh tubuhnya, persendian-persendian tulangnya terasa lemah, kemudian beliau menangis. Menangis mendengar kalimat tauhid itu, yang mengingatkan pada keagungan Allah, dan tanggung jawabnya di hadapan-Nya kelak.
Lalu dibawanya anak gembala yang berstatus budak itu kepada tuannya, kemudian ditebusnya, dan beliau berkata, ''Dengan kalimat tersebut (Fa ainallah?) telah kumerdekakan kamu dari perbudakan itu dan dengan kalimat itu pula insya Allah kamu akan merdeka di akhirat kelak.'' Peristiwa di atas jelas merupakan cermin jiwa yang ihsan, serta gambaran iman yang melahirkan sifat jujur dan amanah.
Alangkah indahnya negeri ini bila penduduknya memiliki iman dan ihsan seperti anak gembala itu. Apalagi jika iman dan ihsan itu ada pada orang-orang yang dominan memegang peranan penting di negeri ini. Kita akan menikmati kesungguhan presiden dengan jajaran para menteri kabinet dan seluruh aparat pemerintahannya untuk memajukan bangsa dan memakmurkan rakyatnya, bebas dari rasa takut, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Bila iman dan ihsan menyebar di negeri ini, maka kita akan mendapati politisi yang jujur, jauh dari praktik rekayasa negatif untuk menjatuhkan lawan politiknya, polisi yang mengayomi masyarakat, karyawan dan para buruh yang memiliki dedikasi dan tanggung jawab. Insya Allah, peraturan akan dipatuhi, negara akan aman, kemakmuran akan dinikmati, hati penduduk negeri menjadi damai.
Demikian memang jaminan dari Allah SWT di dalam Alquran, ''Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.'' (Al A'raf: 96). Wallahu a'lam. (RioL)
0 komentar:
Posting Komentar