Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad utusan Allah
TAUHID DAN MAKNA
SYAHADATAIN
Tauhid
adalah: Mengesakan Allah semata dalam beribadah dan tidak menyekutukan-Nya.
Dan hal ini merupakan ajaran semua Rasul alaihimusshalatuwassalam.
Bahkan tauhid merupakan pokok yang dibangun diatasnya semua ajaran, maka jika
pokok ini tidak ada, amal perbuatan menjadi tidak bermanfaat dan gugur, karena
tidak sah sebuah ibadah tanpa tauhid.
Macam-macam
Tauhid
Tauhid terbagi tiga bagian: Tauhid
Rububiyah, Tauhid Asma’ dan Sifat dan Tauhid Uluhiyah.
1. Tauhid Rububiyah:
Yaitu
menyatakan bahwa tidak ada Tuhan Penguasa seluruh alam kecuali Allah yang
menciptakan mereka dan memberinya rizki. Tauhid macam ini juga telah dinyatakan
oleh orang-orang musyrik pada masa-masa pertama dahulu. Mereka menyatakan bahwa
Allah semata yang Maha Pencipta, Penguasa, Pengatur, Yang Menghidupkan,Yang
Mematikan, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ (العنكبوت :61)
“Dan sesungguhnya
jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah” maka
betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)” (Al Ankabut 61)
Akan tetapi pernyataan dan
persaksian mereka tidak membuat mereka masuk Islam dan tidak membebaskan mereka
dari api neraka serta tidak melindungi harta dan darah mereka, karena mereka
tidak mewujudkan tauhid Uluhiyah, bahkan mereka berbuat syirik kepada Allah
dalam beribadah kepada-Nya dengan memalingkannya kepada selain mereka.
2. Tauhid Asma’ dan Sifat
Yaitu: beriman bahwa Allah ta’ala
memiliki zat yang tidak serupa dengan berbagai zat yang ada, serta memiliki
sifat yang tidak serupa dengan berbagai sifat yang ada. Dan bahwa nama-nama-Nya
merupakan petunjuk yang jelas akan sifat-Nya yang sempurna secara mutlak
sebagaimana firman Allah ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (الشورى :110)
“Tidak ada yang
meyerupainya sesuatupun, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (As Syuro
110)
Begitu juga halnya (beriman kepada Asma’
dan Sifat Allah) berarti menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya
dalam Kitab-Nya atau apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya sollallohu ‘alihi wa
salam
dengan penetapan yang layak sesuai kebesaran-Nya tanpa ada penyerupaan dengan
sesuatupun, tidak juga memisalkannya dan meniadakannya, tidak merubahnya, tidak
menafsirkannya dengan penafsiran yang lain dan tidak menanyakan bagaimana
hal-Nya. Kita tidak boleh berusaha baik dengan hati kita, perkiraan kita, lisan
kita untuk bertanya-tanya tentang bagaimana sifat-sifat-Nya dan juga tidak
boleh menyamakan-Nya dengan sifat-sifat makhluk .
3. Tauhid Uluhiyah
Tauhid
Uluhiyah adalah tauhid ibadah, yaitu mengesakan Allah dalam seluruh amalan
ibadah yang Allah perintahkan seperti berdoa, khouf (takut), raja’ (harap),
tawakkal, raghbah (berkeinginan), rahbah (takut), Khusyu’, Khasyah (takut
disertai pengagungan), taubat, minta pertolongan, menyembelih, nazar dan ibadah
yang lainnya yang diperintahkan-Nya. Dalilnya firman Allah ta’ala:
وَأَنَّ
الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَداً (الجن : 18)
“Dan sesungguhnya
mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah
seseorangpun didalamnya di samping (menyembah) Allah” (Al Jin 18)
Manusia tidak boleh memalingkan
sedikitpun ibadahnya kepada selain Allah ta’ala, tidak kepada malaikat, kepada
para Nabi dan tidak juga kepada para wali yang sholeh dan tidak kepada siapapun
makhluk yang ada. Karena ibadah tidak sah kecuali jika untuk Allah, maka siapa
yang memalingkannya kepada selain Allah dia telah berbuat syirik yang besar dan
semua amalnya gugur.
|
Wujud
nyata Tauhid adalah: memahami-nya dan berusaha untuk mengetahui hakikatnya
serta melaksanakan kewajibannya, baik dari sisi ilmu maupun amalan, hakikatnya
adalah mengarahkan ruhani dan hati kepada Allah baik dalam hal mencintai, takut
(khouf), taubat, tawakkal, berdoa, ikhlas, mengagunggkan-Nya, membesarkan-Nya
dan beribadah kepada-Nya. Kesimpulannya tidak ada dalam hati seorang hamba
sesuatupun selain Allah, dan tidak ada keinginan terhadap apa yang Allah tidak
inginkan dari perbuatan-perbuatan syirik, bid’ah, maksiat yang besar maupun
kecil, dan tidak ada kebencian terhadap apa yang Allah perintahkan. Itulah
hakikat tauhid dan hakikat Laa Ilaaha Illallah.
Makna Laa Ilaaha Illallah
Maknanya
adalah, tidak ada yang disembah di langit dan di bumi kecuali Allah semata, tidak
ada sekutu bagi-Nya. Sesuatu yang disembah dengan bathil banyak jumlahnya tapi
yang disembah dengan hak hanya Allah saja. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ
اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ هُوَ الْبَاطِلُوَأَنَّ
اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ (الحج: 62)
“(Kuasa Allah)
yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Al Hajj 62)
Kalimat Laa Ilaaha
Illallah bukan berarti : “Tidak
ada pencipta selain Allah” sebagaimana yang disangka sebagian
orang, karena sesungguhnya orang-orang kafir Quraisy yang diutus kepada mereka
Rasulullah sollallohu
‘alihi wa salam mengakui bahwa Sang Pencipta dan Pengatur alam ini adalah
Allah ta’ala, akan tetapi mereka mengingkari penghambaan (ibadah) seluruhnya
milik Allah semata tidak ada yang menyekutukannya. Sebagaimana firman Allah
ta’ala:
أَجَعَلَ الآلِـهَةَ إِلَهاً وَاحِداً إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ
عُجَابٌ (ص : 5)
“Mengapa
ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja ?
Sesungguhnya
ini benar-benar satu hal yang sangat mengherankan” (Shad 5)
Dipahami dari ayat ini bahwa
semua ibadah yang ditujukan kepada selain Allah adalah batal. Artinya bahwa
ibadah semata-mata untuk Allah. Akan tetapi mereka (kafir Quraisy) tidak
menghendaki demikian, oleh karenanya Rasulullah sollallohu ‘alihi wa
salam
memerangi mereka hingga bersaksi bahwa tidak ada ilah yang disembah selain
Allah serta menunaikan hak-hak-Nya yaitu mengesa-kannya dalam beribadah
kepada-Nya semata.
Dengan
pemahaman ini maka kelirulah apa yang diyakini oleh para penyembah kuburan pada
masa ini dan orang-orang semacam mereka yang menyatakan bahwa makna Laa ilaaha
illallah adalah persaksian bahwa Allah ada atau bahwa Dia adalah Khaliq sang
Pencipta yang mampu untuk meciptakan dan yang semacamnya dan bahwa yang
berkeyakinan seperti itu berarti dia telah mewujudkan Tauhid yang sempurna
meskipun dia melakukan berbagai hal seperti beribadah kepada selain Allah dan
berdoa kepada orang mati atau beribadah kepada mereka dengan melakukan nazar atau
thawaf dikuburannya dan mengambil berkah dengan tanah kuburannya.
Orang-orang kafir Quraisy telah
mengetahui sebelumnya bahwa Laa ilaaha Illallah mengandung konsekwensi yaitu
ditinggalkannya ibadah kepada selain Allah dan
hanya mengesakan Allah dalam ibadahnya. Seandainya mereka mengucapkan
kalimat tersebut dan tetap menyembah kepada berhala, maka sesungguhnya hal itu
merupakan perbuatan yang bertolak belakang dan mereka memang telah memulainya
dari sesuatu yang bertentangan. Sedangkan para penyembah kuburan zaman sekarang
tidak memulainya dari sesuatu yang bertentangan, mereka mengatakan Laa ilaaha
Illallah, kemudian mereka membatalkannya dengan doa terhadap orang mati yang
terdiri dari para wali, orang-orang sholeh serta beribadah di kuburan mereka dengan
berbagai macam ibadah. Celakalah bagi mereka sebagaimana celakanya Abu Lahab
dan Abu Jahal walaupun keduanya mengetahui Laa Ilaaha Illallah.
Banyak
sekali terdapat hadits yang menerangkan bahwa makna Laa Ilaaha Illallah adalah
berlepas diri dari semua ibadah terhadap selain Allah baik dengan meminta
syafaat ataupun pertolongan, serta mengesakan Allah dalam beribadah, itulah
petunjuk dan agama yang haq yang karenanya Allah mengutus para Rasul dan
menurunkan kitab-kitab-Nya. Adapun orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illahllah
tanpa memahami maknanya dan mengamalkan kandungannya, atau pengakuan seseorang
bahwa dia termasuk orang bertauhid sedangkan dia tidak mengetahui tauhid itu
sendiri bahkan justu beribadah dengan ikhlas kepada selain Allah dalam bentuk
doa, takut , menyembelih, nazar, minta pertolongan, tawakkal serta yang lainnya
dari berbagai bentuk ibadah maka semua itu adalah hal yang bertentangan dengan
tauhid bahkan selama seseorang melakukan yang seperti itu dia berada dalam
keadaan musyrik!
|
“Sesungguhnya
hati yang memahami Laa Ilaaha Illallah dan membenarkannya serta ikhlas akan
tertanam kuat sikap penghambaan kepada Allah semata dengan penuh penghormatan,
rasa takut, cinta, pengharapan, pengagungan dan tawakkal yang semua itu
memenuhi ruang hatinya dan disingkirkannya penghambaan terhadap selain-Nya dari
para makhluk. Jika semua itu terwujud maka tidak akan ada lagi rasa cinta,
keinginan dan permintaan selain apa yang dikehendaki Allah serta apa yang
dicintai-Nya dan dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir dari hati semua
keinginan nafsu syahwat dan bisikan-bisikan syaitan, maka siapa yang mencintai
sesuatu atau menta’atinya atau mecintai dan membenci karenanya maka dia itu
adalah tuhannya, dan siapa yang mencintai dan membenci semata-mata karena
Allah, ta’at dan memusuhi karena Allah, maka Allah baginya adalah tuhan yang
sebenarnya. Siapa yang mencintai karena hawa nafsunya dan membenci juga
karenanya, atau ta’at dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka hawa nafsu baginya
adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ (الفرقان : 43)
“Tidakkah
engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan ?” (Al Furqon 43)
Keutamaan Laa Ilaaha Illallah
Dalam
kalimat Ikhlas (Laa Ilaaha Illallah) terkumpul keutamaan yang banyak, dan
faedah yang bermacam-macam. Akan tetapi keutamaan tersebut tidak akan
bermanfaat bagi yang mengucapkannya jika sekedar diucapkan saja. Dia baru
memberikan manfaat bagi
orang yang mengucapkannya dengan keimanan dan melakukan kandungan-kandungannya.
Diantara keutamaan yang paling utama adalah bahwa orang yang mengucapkannya
dengan ikhlas semata-mata karena mencari ridho-Nya maka Allah ta’ala haramkan
baginya api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah sollallohu ‘alihi wa
salam:
إِنَّ اللهَ
حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي
بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ (متفق عليه)
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
neraka bagi siapa yang mengatakan: Laa Ilaaha Illallah semata-mata karena
mencari ridho Allah” (Muttafaq Alaih).
Dan banyak lagi hadits-hadits
lainnya yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang yang mengucapkan
Laa Ilaaha Illallah dari api neraka. Akan tetapi hadits-hadits tersebut
mensyaratkan dengan berbagai syarat yang berat.
Banyak yang mengucapkannya
namun dikhawatirkan terkena fitnah disaat kematiannya sehingga dia terhalang
dari kalimat tersebut karena dosa-dosanya yang selama ini selalu dilakukannya
dan dianggapnya remeh. Banyak juga yang mengucapkannya dengan dasar ikut-ikutan
atau adat semata sementara keimanan tidak meresap kedalam hatinya. Orang-orang
semacam merekalah yang banyak mendapatkan fitnah saat kematiannya dan saat di
kubur sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits “Saya mendengarkan manusia
mengatakannya, maka saya mengatakannya” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud).
Dengan
demikian maka tidak ada yang bertentangan dengan hadits-hadits yang ada, karena
jika seseorang mengucapkannya (Laa Ilaaha Illallah) dengan ikhlas dan penuh
keyakinan maka dia tidak mungkin berbuat dosa terus menerus, karena
kesempurnaan keikhlasan dan keyakinan menuntutnya untuk menjadikan Allah
sebagai sesuatu yang lebih dicintainya dari segala sesuatu, maka tidak ada lagi
dalam hatinya keinginan terhadap apa yang diharamkan Allah ta’ala dan membenci
apa yang Allah perintahkan. Hal seperti itulah yang membuatnya diharamkan dari
api neraka meskipun dia melakukan dosa sebelumnya, karena keimanan, taubat,
keikhlasan, kecintaan dan keyakinannya membuat dosa yang ada padanya terhapus
bagaikan malam yang menghapus siang.
|
Syahadat
memiliki dua rukun :
1. Peniadaan (Nafy) dalam
kalimat: “Laa Ilaaha”.
2. Penetapan (Itsbat)
dalam kalimat: “Illallah”.
Maka
“Laa Ilaaha” berarti meniadakan segala tuhan selain Allah, dan “Illallah”
berarti menetapkan bahwa sifat ketuhanan hanya milik Allah semata dan tidak ada
yang menyekutukannya.
Syarat-syarat Laa Ilaaha Illallah
Para
ulama menyatakan bahwa ada tujuh syarat bagi kalimat Laa Ilaaha Illallah.
Kalimat tersebut tidak sah selama ketujuh syarat tersebut tidak terkumpul dan
sempurna dalam diri seseorang, serta mengamalkan segala apa yang terdapat
didalamnya serta tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengannya. Yang
dimaksud bukanlah sekedar menghitung lafaz-lafaznya dan menghafalnya, sebab
betapa banyak orang yang hafal kalimatnya akan tetapi ia bagaikan anak panah
yang melesat (keluar dari Islam) sehingga anda akan lihat dia banyak melakukan
banyak perbuatan yang bertentangan. Berikut ini syarat-syaratnya:
1. Berilmu (العلم)
Yang dimaksud adalah
memiliki ilmu terhadap maknanya (kalimat Laa Ilaaha Illallah) baik dalam hal
nafy maupun itsbat dan segala amal yang dituntut darinya. Jika seorang hamba
mengetahui bahwa Allah ta’ala adalah semata-mata yang disembah dan bahwa
penyembahan kepada selainnya adalah bathil, kemudian dia mengamalkan sesuai
dengan ilmunya tersebut.
Lawan dari
mengetahui adalah bodoh, karena dia tidak mengetahui wajibnya mengesakan Allah
dalam ibadah, bahkan dia menilai bolehnya beribadah kepada selain Allah
disamping beribadah kepada-Nya, Allah ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ (محمد 19 )
“Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah” (Muhammad 19)
إِلاَّ
مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ (الزخرف 86)
“Akan tetapi
(orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid)
dan mereka meyakini(nya)”
(Az
Zukhruf 86)
Maksudnya
adalah: Siapa yang bersaksi sedangkan hati mereka mengetahui apa yang diucapkan
lisan mereka.
2. Yakin (اليقين)
Yaitu seseorang mengucapkan syahadat
dengan keyakinan sehingga hatinya tenang didalamnya, tanpa sedikitpun pengaruh
keraguan yang disebarkan oleh syetan-syetan jin dan manusia, bahkan dia
mengucapkannya dengan penuh keyakinan atas kandungan yang ada didalamnya. Siapa
yang mengucapkannya maka wajib baginya meyakininya didalam hati dan mempercayai
kebenaran apa yang diucapkannya yaitu adanya hak ketuhanan yang dimiliki Allah
ta’ala dan tidak adanya sifat ketuhanan kepada segala sesuatu selain-Nya. Juga
berkeyakinan bahwa kepada selain Allah tidak boleh diarahkan kepadanya ibadah
dan penghambaan. Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau tidak mengakui
bathilnya sifat ketuhanan selain Allah ta’ala, misalnya dengan mengucapkan: “Saya
meyakini akan ketuhanan Allah ta’ala akan tetapi saya ragu akan bathilnya
ketuhanan selain-Nya”, maka batallah syahadatnya dan tidak bermanfaat
baginya. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
اْلمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ
يَرْتَابُوا ( الحجرات: 15)
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu ”(Al Hujurat 15).
3.
Menerima (القبول)
Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat dalam kalimat tersebut dalam hatinya dan lisannya. Dia membenarkan dan beriman atas semua berita dan apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada sedikitpun yang ditolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang keliru atau perubahan atas nash-nash yang ada sebagaimana hal tersebut dilarang Allah ta’ala. Dia berfirman:
قُوْلُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا (البقرة 136)
“Katakanlah,
kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” (Al Baqarah 13)
|
فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِأَيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ (الأنعام 33)
“Karena mereka
sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu
mengingkari ayat-ayat Allah” (Al An’am 33)
Termasuk dikatakan menolak, jika
seseorang menentang atau benci dengan
sebagian hukum-hukum Syari’at atau hudud (hukum pidana Islam). Allah
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً (البقرة: 208)
“Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”(Al Baqarah
208)
4. Tunduk (الانقياد)
Yang dimasud adalah tunduk atas apa yang diajarkan dalam kalimat Ikhlas, yaitu dengan menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak membantah terhadap hukum-hukum Allah. Allah ta’ala berfirman:
وَأَنِيْبُوا
إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ ( الزمر 54)
“Dan kembalilah
kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya …” (Az Zumar 54)
Termasuk juga tunduk terhadap apa yang
dibawa Rasulullah sollallohu
‘alihi wa salam
dengan diiringi sikap ridho dan mengamalkannya tanpa bantahan serta tidak
menambah atau mengurangi. Jika seseorang telah mengetahui makna Laa Ilaaha
Illallah dan yakin serta menerimanya, akan tetapi dia tidak tunduk dan
menyerahkan diri dalam melaksanakan kandungannya maka semua itu tidak
memberinya manfaat. Termasuk dikatakan tidak tunduk juga adalah tidak menjadikan
syariat Allah sebagai sumber hukum dan menggantinya dengan undang-undang buatan
manusia.
5. Jujur (الصـــدق)
Maksudnya jujur dengan keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud maka dia dikatakan orang yang membenarkan terhadap kitab Allah ta’ala dan sunnahnya.
Maksudnya jujur dengan keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud maka dia dikatakan orang yang membenarkan terhadap kitab Allah ta’ala dan sunnahnya.
Lawan dari jujur adalah dusta, jika
seorang hamba berdusta dalam keimanannya, maka seseorang tidak dianggap beriman
bahkan dia dikatakan munafiq walaupun mengucapkan syahadat dengan lisannya,
maka syahadat tersebut baginya tidak menyelamatkannya.
Termasuk yang menghilangkan sahnya
syahadat adalah mendustakan apa yang dibawa Rasulullah atau mendustakan
sebagian yang dibawanya, karena Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk
ta’at kepadanya dan membenarkannya dan mengaitkannya dengan ketaatan
kepada-Nya.
6. Ikhlas (الإخـــلاص)
Maksudnya adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni dari kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dari apa yang tampak dalam perkataan dan perbuatan yang semata-mata karena Allah ta’ala dan karena mencari ridho-Nya. Tidak ada didalamnya kotoran riya’ dan ingin dikenal, atau tujuan duniawi dan pribadi, atau juga melakukan sesuatu karena kecintaannya terhadap seseorang atau golongannya atau partainya dimana dia menyerahkan dirinya kepadanya tanpa petunjuk Allah ta’ala. Dia berfirman:
ألاَ لِلَّهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ (الزمر 3)
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” (Az Zumar 3)
وَمَا
أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ (البينة 5)
“Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan
kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus” (Al Bayinah 5).
Lawan dari ikhlas adalah Syirik dan
riya’, yaitu mencari keridhoan selain Allah ta’ala. Jika seseorang telah
kehilangan dasar keikhlasannya, maka syahadat tidak bermanfaat baginya. Allah
ta’ala berfirman:
وَقَدِمْنَا
إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناَهاَ هَبَاءً مَنْثُوراً (الفرقان 23)
“Dan
Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan” (Al Furqon 23)
Maka dengan demikian tidak ada manfaat
baginya semua amalnya karena dia telah kehilangan landasannya.
Allah
ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءَ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ
افْتَرَى إِثْما عَظِيْماً (النساء 48)
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sengguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An Nisa
48)
7.
Cinta (المحـــبة)
Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran dan konsekwensi yang terkandung didalamnya maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua kecintaan kepada yang lainnya serta melakukan semua syarat-syaratnya dan konsekwensinya. Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang diiringi dengan rasa pengangungan dan rasa takut dan pengharapan.
Termasuk
cinta kepada Allah adalah mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang
dicintai hawa nafsu dan segala tuntutannya, termasuk juga rasa cinta adalah
membenci apa yang Allah benci, maka dirinya membenci orang-orang kafir serta
memusuhi mereka. Dia juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Termasuk
tanda cinta adalah tunduk terhadap syariat Allah dan mengikuti ajaran nabi
Muhammad dalam setiap urusan. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهَ
وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ (آل عمران
30
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (Ali Imran 30)
Lawan
dari cinta adalah benci. Yaitu membenci kalimat ini dan semua ajaran yang
terkandung didalamnya atau mencinta sesuatu yang disembah selain Allah bersama
kecintaannya terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ (محمد 9)
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah
menghapuskan (pahala-pahala) amal-amala mereka”(Muhammad
9)
Termasuk yang menghilangkan sifat cinta adalah membenci Rasulullah
sollallohu
‘alihi wa salam dan mencintai musuh-musuh Allah serta membenci wali-wali Allah
dari golongan orang beriman.
MAKNA
PERSAKSIAN (SYAHADAT) BAHWA MUHAMMAD ADALAH RASULULLAH
sollallohu ‘alihi wa salam
Maknanya
adalah: Taat terhadapnya atas apa yang diperintahkannya dan membenarkan atas
apa yang diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan diancamnya. Tidak
beribadah kepada Allah kecuali apa yang dia syariatkan. Setiap muslim harus
mewujudkan syahadat ini, sehingga tidak dikatakan syahadat seseorang terhadap
kerasulannya sempurna manakala dia sekedar mengucapkannya dengan lisan namun
meninggalkan perintahkannya dan melanggar larangannya serta taat kepada
selainnya atau beribadah kepada Allah tidak berdasarkan ajarannya. Rasulullah sollallohu ‘alihi wa
salam
bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ
(رواه البخاري)
“Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan
siapa yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah” (Riwayat
Bukhori)
مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (متفق عليه)
“Siapa
yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak termasuk didalamnya maka
dia tertolak” (Muttafaq
alaih)
Termasuk
wujud nyata dari syahadat ini adalah tidak adanya keyakinan bahwa Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam memiliki hak
ketuhanan yang mengatur alam ini atau tidak memiliki hak untuk disembah, akan
tetapi dia hanyalah seorang hamba yang tidak disembah dan seorang Rasul yang
tidak didustakan dan dirinya tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri dan
orang lain dalam mendatangkan manfaat dan mudharat kecuali apa yang Allah
kehendaki.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ لاَ
أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ
[الأعراف : 188]
“ Katakanlah (Hai Muhammad): “ Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah “ (Al A’raf : 188)
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN
1. Mengadakan persekutuan
(syirik) dalam beribadah kepada Allah ta’ala (An Nisa 116)
Termasuk dalam hal ini, permohonan pertolongan dan permohonan doa kepada
orang mati serta bernadzar dan menyembelih qurban untuk mereka.
2. Siapa yang menjadikan sesuatu
atau seseorang sebagai perantara kepada Allah, memohon kepada mereka syafaat, serta sikap tawakkal kepada mereka, maka berdasarkan ijma’ dia telah
kafir.
3. Siapa yang tidak mengkafirkan
orang-orang musyrik, atau menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan
madzhab mereka, maka dia telah kafir.
4. Berkeyakinan bahwa petunjuk
selain yang datang dari Nabi Muhammad sollallohu ‘alihi wa salam lebih
sempurna dan lebih baik. Menganggap suatu hukum atau undang-undang lainnya
lebih baik dibandingkan syariat Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam, serta lebih
mengutamakan hukum taghut (buatan manusia) dibandingkan ketetapan Rasulullah sollallohu ‘alihi wa
salam
.
5. Membenci sesuatu yang
datangnya dari Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam, meskipun
diamalkannya. (Muhammad 9).
6. Siapa yang mengolok-olok
sebagian dari Din yang dibawa Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam, misalnya
tentang pahala atau balasan yang akan diterima maka dia telah kafir. (At-Taubah 65-66)
7. Melakukan sihir, diantaranya “As-sharf”
(mengubah perasaan seorang laki-laki menjadi benci kepada istrinya) dan “Al
Athaf” (Menjadikan seseorang senang terhadap apa yang sebelumnya dia
benci/pelet) atas bantuan syeitan.
Siapa
yang melakukan kegiatan sihir atau ridha dengannya maka dia kafir (Al
Baqarah 102)
8. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan
bantuan kepada orang musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang
diberikan kepada kaum muslimin. (Al Maidah 5)
9. Beranggapan bahwa manusia bisa
leluasa keluar dari syariat Muhammad . (Ali Imron 85)
10. Berpaling dari Dinullah, baik
karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkannya. Hal
ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
(As-Sajadah 22).
-----------------
0 komentar:
Posting Komentar