Yesus pun puasa 40 hari 40 malam lamanya
PUASA Ramadhan adalah ibadah yang
sangat penting dan istimewa, bahkan menjadi salah satu rukun Islam. Maka tak
heran jika kalangan Kristen pun menjadikan puasa Ramadhan sebagai objek
untuk melemahkan aqidah. Yayasan misionaris di Jakarta yang memakai nama Islam
“Jalan Al-Rahmat,” menerbitkan buku saku (booklet) berjudul Apa yang
Harus Kita Lakukan Supaya Pasti Selamat tulisan Iskandar Jadeed. Buku ini
juga diterbitkan dalam bahasa Sunda berjudul Naon Anu Kudu Dipilampah Ku Sim
Kuring Sangkan Salamet oleh yayasan Bewara Kabagjaan Bandung.
Setelah menguraikan panjang-lebar tentang
makna keselamatan dan pengampunan, Iskandar menyindir puasa sebagai salah satu
cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tapi sama sekali tidak mendatangkan
pengampunan (maghfirah) Ilahi bahkan tidak berarti sama sekali bagi
Allah. Iskandar menulis:
“Berpuasa adalah suatu bentuk merendahkan
diri yang disertai penyesalan yang mendalam di dalam roh dan jiwa. Meskipun
demikian tak mencukupi untuk meniadakan pemberontakan yang pernah dilancarkan
terhadap Allah berkenaan dengan dosa-dosa yang pernah dibuatnya. Sebab itu
berpuasa tidak melimpahkan suatu pengampunan ke atas orang yang berdosa itu.
Pengalaman menunjukkan bahwa mereka yang
berpuasa dengan tujuan meraih rahmat Allah, pada hakikatnya tidak melakukan
sesuatupun pekerjaan bagi Allah atau sesama manusia. Bahkan tidak patut
menerima imbalan bagi puasanya.” (hlm. 35).
Setelah menihilkan puasa, amal shalih, doa
dan sembahyang (shalat) sebagai upaya yang tidak akan mencapai kepada
keselamatan di akhirat, Iskandar menutup uraiannya bahwa satu-satunya cara
untuk meraih keselamatan adalah percaya kepada Yesus Kristus sebagai tuhan dan
juruselamat. Kesimpulan ini didasarkan pada ayat Injil:
“Siapa yang percaya dan dibaptis akan
diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Markus 16:16).
Dilihat dari sisi manapun, uraian Iskandar
Jadeed ini salah total dan bertentangan dengan kitab suci. Dari sisi Alkitab
(Bibel), Injil Markus 16:16 tidak boleh diyakini apalagi diamalkan, karena
status ayat ini adalah ayat palsu, berdasarkan pendapat para ilmuwan Kristen
sendiri. Robert W Funk, Roy W Hoover dan The Jesus Seminar, sama sekali tidak
memuat Markus 16:9-20 dalam The Five Gospels dan tidak komentar apapun.
Sementara itu New York International Bible
Society memuat utuh Markus 16:9-20 dalam The Holy Bible New International
Version (halaman 780). Tetapi, di bawah ayat 8 diberi garis tegas yang
memisahkan ayat 8 dengan ayat 9-20. Di bawah garis tersebut ditulis peringatan
yang berbunyi: “The two most reliable early manuscripts do not have Mark
16:9-20.” (Dua manuskrip yang paling tua (codex Sinaiticus dan codex
Vaticanus) tidak memiliki Markus 16:9-20).
Di Indonesia, pengakuan kepalsuan Injil
Markus 16:9-20 masih bisa dijumpai dalam Alkitab terbitan Katolik tahun
1977/1978 dengan komentar sebagai berikut: “Bagian akhir Markus, ay. 9-20,
berceritera mengenai penampakan-penampakan Yesus. Ini memang termasuk ke dalam
Kitab Suci, tetapi agaknya tidak termasuk Injil Markus yang asli” (Lembaga
Biblika Indonesia, Kitab Suci Perjanjian Baru, hlm. 133).
Dalam kacamata Al-Qur’an, puasa adalah amal
ibadah yang diridhai Allah SWT dengan ampunan dan pahala yang besar:
“…. Laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar” (Qs Al-Ahzab 35).
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan
dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala, maka Allah akan mengampuni
dosa-dosa yang terdahulu” (HR Bukhari dan Muslim).
Allah mengistimewakan puasa dengan menyiapkan
pintu sorga khusus untuk ahli puasa: “Sesungguhnya di surga itu ada satu
pintu yang dinamakan Ar-Royyan. Ahli puasa akan memasukinya melalui pintu itu
pada hari kiamat, tidak seorang pun selain mereka memasuki melalui pintu
tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya” (HR Al-Bukhari
dan Muslim).
Puasa adalah perisai dari api neraka, sesuai
degan sabda Rasulullah SAW:
“Puasa adalah perisai. Seorang hamba
berperisai dengannya dari api neraka” (HR Ahmad).
“Tidaklah seorang hamba yang Puasa di jalan
Allah kecuali akan Allah jauhkan dia dari neraka sejauh tujuh puluh musim” (HR Bukhari dan Muslim).
Shaum (puasa) adalah ibadah
sepanjang masa
Menurut Iskandar Jadeed, orang yang berpuasa
untuk meraih rahmat Allah, pada hakeketnya tidak melakukan sesuatupun pekerjaan
bagi Allah atau sesama manusia. Benarkah tuduhan ini, bahwa puasa adalah amalan
yang sia-sia (tak berarti) bagi Allah maupun manusia?
Pernyataan ini bertolak belakang dengan
prinsip agama para Nabi Allah, baik menurut Al-Qur’an maupun Alkitab (Bibel).
Menurut Al-Qur’an, puasa adalah amal ibadah
tertua yang sudah disyariatkan umat terdahulu, jauh sebelum diwajibkan kepada
umat Muhammad SAW, seperti disebutkan Allah SWT: “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Qs. Al-Baqarah 183).
Firman Allah “kama kutiba ‘alal-ladzina min
qablikum” ini menunjukkan bahwa ibadah puasa telah dilakukan oleh orang-orang
beriman sebelum Nabi Muhammad SAW. Ketika menjelaskan ayat ini, Tafsir Ibnu
Katsir menyebutkan bahwa sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib
dilakukan tiga hari setiap bulannya.
Jauh sebelumnya, Nabi Adam telah
diperintahkan untuk berpuasa tidak memakan buah khuldi (Qs. Al-Baqarah 35).
Maryam bunda Nabi Isa pun berpuasa hingga tidak bicara kepada siapapun (Qs.
Maryam 26). Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun
berpuasa. Nabi Daud berpuasa selang-seling (sehari berpuasa dan sehari
berikutnya berbuka). Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah
mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura
yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain.
Pernyataan Iskandar Jadeed itu juga
bertentangan dengan prinsip puasa dalam Injil. Menurut Injil, puasa adalah
identitas ketakwaan, kesalehan dan kepatuhan kepada Tuhan. Hana, seorang nabi
perempuan tidak pernah meninggalkan ibadah puasa dalam rangka mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Tuhan (Lukas 2:36-37). Yesus menginstruksikan para
muridnya untuk berdoa dan berpuasa untuk mengusir setan yang merasuki manusia
(Matius 17:21). Orang Farisi pada masa Yesus melakukan Senin-Kamis setiap pekan
(Lukas 18:12). Yesus juga menekankan puasa yang harus dikerjakan dengan ikhlas
karena Allah semata, tanpa riya’ sedikit pun (Matius 6:16-18).
Pernyataan Iskandar Jadeed juga bertolak
belakang dengan kitab Taurat yang secara jelas mencatat puasa wajib yang
diamalkan oleh Nabi Musa dengan syariat yang berat, yaitu berhenti total dari
segala aktivitas. Bila dilanggar, sangsinya adalah dilenyapkan dan dibinasakan
oleh Tuhan. Ketetapan ini berlaku sepanjang masa, selama-lamanya!
“Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk
selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh
bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan
sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di
tengah-tengahmu…Hari itu harus menjadi sabat, hari perhentian penuh, bagimu dan
kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa. Itulah suatu ketetapan untuk
selama-lamanya” (Imamat 16: 29-31; bdk. Bilangan 29: 7).
“Akan tetapi pada tanggal sepuluh bulan yang
ketujuh itu ada hari Pendamaian; kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan
harus merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan korban api-apian
kepada Tuhan. Pada hari itu janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah
hari Pendamaian untuk mengadakan pendamaian bagimu di hadapan Tuhan, Allahmu.
Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa,
haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. Setiap orang yang
melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari
tengah-tengah bangsanya” (Imamat 23: 27-30).
Nabi-nabi yang lain pun berpuasa dengan
syariat sesuai dengan situasi yang berlangsung. Puasa pada masa Samuel untuk
bertaubat kepada Tuhan (I Samuel 7:6) dan berkabung (I Samuel 31:13; II Samuel
1:12). Nabi Daud berpuasa sampai badannya kurus kehabisan lemak (Mazmur
109:24); Nehemia berpuasa ketika berkabung (Nehemia 1:4), Daniel juga berpuasa
(Daniel 9:3), Yoel berpuasa bersama penduduk negerinya (Yoel 1:14), Yunus
berpuasa (Yunus 3:5), Zakharia diperintah Tuhan untuk berpuasa (Zakharia 7:5),
warga Yerusalem berpuasa pada bulan kesembilan (Yeremia 36:9), dll.
Nabi Musa dan Yesus sama-sama berpuasa
jasmani dan rohani selama 40 hari 40 malam nonstop. Musa berpuasa tidak makan
dan tidak minum selama 40 hari 40 malam pada saat menerima Sepuluh Firman (The
Ten Commandments): “Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan Tuhan empat
puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan
ia menuliskan pada
loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman”
(Keluaran 34:28).
Sementara Yesus berpuasa 40 hari 40 malam
hingga kelaparan pada saat dicobai iblis di padang gurun” “Dan setelah
berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus”
(Matius 4:2).
Beberapa kalangan Kristen saat ini masih
mempertahankan puasa dengan ritual yang berbeda-beda. Kristen Ortodoks Syria
(KOS) berpuasa “shaumil kabir” selama 40 hari berturut-turut pada tiap tahun
sekitar bulan April, tanpa makan sahur. Puasa KOS lainnya adalah puasa Rabu dan
Jum’at dalam rangka mengenang kesengsaraan Kristus.
Puasa menurut Katolik, sebagai contoh
peraturan yang dibuat oleh keuskupan Surabaya tahun 2004 yang ditandatangani
oleh Romo Julius Haryanto CM. Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik (Kanon No.
1249-1253) dan Statuta Keuskupan Regio Jawa No. 111, maka ditetapkan: Semua
orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60 wajib berpuasa pada
hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Dalam arti yuridis, puasa orang Katolik ini
berarti makan kenyang hanya sekali sehari.
…Jika puasa adalah amal yang sia-sia seperti
tuduhan misionaris Iskandar Jadeed, untuk apa Musa dan Yesus berlapar-lapar
dalam puasa empat puluh hari empat puluh malam?…
Dengan demikian, jelaslah bahwa shaum (puasa)
bukan amalan yang sia-sia di hadapan Tuhan. Bahkan puasa adalah ibadah yang
istimewa karena telah diwajibkan Tuhan kepada semua nabi-Nya. Jika puasa adalah
amal yang sia-sia seperti tuduhan misionaris Iskandar Jadeed, untuk apa Musa
dan Yesus berlapar-lapar dalam puasa empat puluh hari empat puluh malam?
Oleh: A. Ahmad Hizbullah MAG