Menyegerakan berbuka puasa
Telah kita ketahui bersama bahwa
puasa Ramadhan adalah bagian dari rukun Islam, sehingga bangunan Islam pun bisa
tegak dengan adanya salah satu rukun ini. Bukti wajibnya puasa disebutkan
dalam firman Allah,yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Puasa ramadhan ini diwajibkan bagi
setiap muslim, berakal, sudah baligh, dalam keadaan sehat dan dalam keadaan
mukim.
Pada edisi kali ini, remajaislam.com akan mengangkat
beberapa hal yang berkaitan dengan hukum puasa Ramadhan. Semoga bermanfaat.
SYARAT SAH DAN RUKUN PUASA
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[1] (1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas.
(2) Berniat.
Niat merupakan syarat sah puasa
karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat
sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[2]
Namun, para pembaca sekalian perlu
ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang
dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati[3]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah
–ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang
kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk
diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[4] Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah
mengatakan, “Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali
dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana
ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[5]
Niat puasa harus diperbaharui setiap
harinya dan harus diniatkan sebelum masuk waktu Shubuh. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa siapa yang tidak berniat
sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[6]
Adapun rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai
pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya
matahari[7]. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang
artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187).
SUNNAH-SUNNAH PUASA
1. Mengakhirkan sahur. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada
sahur itu terdapat berkah.”[8] Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata,
“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada
Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh[9] dan sahur kalian?” Zaid menjawab,
”Sekitar membaca 50 ayat”.[10]
2. Menyegerakan berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia
akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[11]
3. Berdo’a ketika berbuka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada
tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang
berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”[12] Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca
do’a, “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah
(artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah
ditetapkan insya Allah)”[13]
Adapun do’a berbuka, “Allahumma
laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah,
kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku
berbuka); Mula ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah
tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.[14] Sehingga cukup do’a shahih yang kami
sebutkan di atas (dzahabazh zhomau …) yang hendaknya jadi pegangan dalam
amalan.
5. Memberi makan pada orang yang
berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya
pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang
berpuasa itu sedikit pun juga.”[15]
6. Lebih banyak berderma dan
beribadah di bulan Ramadhan. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih banyak lagi melakukan kebaikan di bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak
sedekah, berbuat baik, membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf.”[16]
PEMBATAL-PEMBATAL PUASA
1. Makan dan minum dengan sengaja. Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan
para ulama[17].
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan
dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia
muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”[18]
3. Haidh dan nifas. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas
membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[19] Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa,
ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[20]
4. Keluarnya mani dengan sengaja. Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa
hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara
menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau
dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan
kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal
ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Allah Ta’ala
berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”[21]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk
syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[22]
5. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Menurut mayoritas ulama, jima’
(hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan
di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan
(di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan),
mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan
menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang
diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal,
tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Adapun wanita
yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang
menanggung kafaroh adalah si pria. Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan
urutan sebagai berikut: a) membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari
cacat, b) jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, c) jika tidak
mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
BEBERAPA HAL YANG DIBOLEHKAN KETIKA
PUASA
1. Mendapati waktu fajar dalam
keadaan junub. Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhuma, mereka berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh
dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap
berpuasa.”[23]
2. Bersiwak ketika berpuasa. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa)
maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi,
para ulama berselisih pendapat tentang makruhnya hal itu jika dilakukan setelah
waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari
Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang
mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum
yang membolehkan untuk bersiwak.”[24]
Adapun menggunakan pasta gigi, lebih
baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat
kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak
merasakannya.[25]
3. Berkumur-kumur dan memasukkan air
ke dalam hidung asal tidak berlebihan. Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air
dalam hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para
ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga
berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk
berlebih-lebihan ketika itu.”[26]
4. Bercumbu dan mencium istri selama
aman dari keluarnya mani. Orang yang
berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan
selama terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal
selama tidak keluar mani.[27] An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri
tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani”.[28]
5. Bekam dan donor darah jika tidak
membuat lemas. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang
berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
(HR. Bukhari no. 1940). Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor
darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun
disamakan.[29]
6. Mencicipi makanan selama tidak
masuk dalam kerongkongan. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia mengatakan, “Tidak mengapa seseorang yang sedang
berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke
kerongkongan.”[30]
7. Bercelak dan tetes mata. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah
hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa.” [31]
8. Mandi dan menyiramkan air di
kepala untuk membuat segar. Dari
Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata, “Sungguh, aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan
yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam keadaan
berpuasa. ”[32]
9. Menelan dahak. Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak[33] tidak membatalkan puasa karena ia dianggap
sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[34]
Demikian sajian singkat seputar hukum puasa Ramadhan. Semoga bermanfaat.
Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
[2] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari
‘Umar bin Al Khottob.
[3] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu
shouma ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam
hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
[4] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
[5] Mughnil Muhtaj, 1/620.
[6] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan
Nasa’i no. 2333. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Irwaul Gholil 914 (4/26).
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
[8] HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095.
[9] Yang dimaksudkan dengan adzan di sini adalah
adzan kedua yang dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum, sebagai tanda masuk waktu
shubuh atau terbit fajar (shodiq). (Lihat Fathul Bari, 2/54)
[10] HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097.
[11] HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098,
dari Sahl bin Sa’ad.
[12] HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban
16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[13] HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Mirqotul Mafatih, 6/304.
[15] HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746,
dan Ahmad 5/192, dari Zaid bin Kholid Al Juhani. At Tirmidzi mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[16] Zaadul Ma’ad, 2/25.
[17] Lihat Bidayatul Mujtahid, hal. 267.
[18] HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[19] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[20] HR. Muslim no. 335.
[21] HR. Bukhari no. 1894.
[22] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52.
[23] HR. Bukhari no. 1926.
[24] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[25] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin,
17/261-262.
[26] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[27] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13123 dan
Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111.
[28] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/215.
[29] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/113-114.
[30] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 2/304.
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan.
[31] Majmu’ Al Fatawa, 25/234.
[32] HR. Abu Daud no. 2365.
[33] Dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung
atau lendir yang naik dari dada.
[34] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9962 dan
Shahih Fiqh Sunnah, 2/117.